3 April 2012

Kenapa Harus Bershalawat

Ibnu Rusyd*
 
Kita sebagai manusia yang mengaku beriman dan berislam sudah semestinya cinta sama Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Coba dibayangkan, seandainya bukan karena usaha dan doa Kanjeng Nabi, ya sudah pasti kita sekarang gak ketahuan tongkrongannya. Kita sudah sepakat kok, bahwa apa yang kita sebut sebagai ajaran Islam ini, sebagai petunjuk hidup ini, yang membuat hidup kita semua lebih baik, ya awalnya dari Kanjeng Nabi itu sendiri. Kalau mau dipikir, ya kita ini ga tahu diri kalo tidak mau bershalawat pada Kanjeng Nabi. Shalawat itu kan bentuk rasa cinta kita kepada Kanjeng Nabi, ya sama kalau kita cinta pada seseorang, terus kita sebut-sebut namanya, kita ingat-ingat orangnya, ya begitu pula kalau kita cinta sama Kanjeng Nabi.

Tapi toh cinta itu adanya dalam hati, tak ada yang tahu kecuali si pencinta sama Tuhan. Banyak manusia yang mengaku cinta sama Kanjeng Nabi, tapi yo cuma di mulut saja. Sementara kita kan tahu, ucapan tanpa kenyataan ya cuma bualan, munafik kata lainnya. Tapi tak usahlah diurus. Kita saling mendoakan saja, semoga yang belum paham menjadi paham, yang paham menjadi tambah paham kalau dia harusnya sadar harus mesti tawadhu dengan pengetahuannya.

Shalawat itu bukan cuma buat nunjukkin rasa cinta sama Kanjeng Nabi, tapi ada yang lebih fundamen lagi. Begini. Kita ini cuma manusia biasa, yang ga punya apa-apa kecuali apa yang sudah dikasih sama Tuhan. Kita mesti sadar, hidup tak bakal lama, mungkin satu dua menit lagi kematian berkunjung. Kalau sudah mati mau apa, mau ngandelin apa. Amal kita tidak ada apa-apanya kalau mau dibandingkan dengan rahmat Allah buat kita. Terus ketika hari penghisaban nanti, kita mau masuk surga. Ngandelin opo. Itu dia gunanya shalawat.

Shalawat itu kita selaku wong, gondelan klambine Kanjeng Nabi, biar kita selamat. Nah mata-mata yang lagi pada baca nih paham tak apa itu gondelan klambine Kanjeng Nabi. Ini artinya, kita sebagai manusia, ya manut, ya ikut ya nurut, pegangan sama bajunya Kanjeng Nabi. Ya begitulah shalawat, biar kita bisa dapat syafaat. Cara dapetinnya ya ikut, sama Kanjeng Nabi.

Kita semua sadarlah kita ini tidak bisa diandelin, ya ga punya apa-apa kok. Kanjeng Nabi Muhammad pernah cerita, suatu ketika, ada seorang hamba Allah, yang hidup sendirian di tengah-tengah pulau kosong, yang ada di tengah samudera. Di pulau kecil itu, Cuma ada si hamba, satu sungai sama satu pohon. Kerjaan si hamba itu tiap hari Cuma ibadah saja, sujud sama Allah, taat sama Allah. Kalau haus ya tinggal minum dari sungai. Kalau lapar buahnya jatuh sendiri dari pohon. Suatu ketika si hamba yang taat ini, wafat. Trus, sudah sampai hari perhitungan, amalannya selama hidup ditimbang. Kemudian Allah perintahkan kepada malaikat untuk menanyakan padanya satu hal. Tanyakan kepada si hamba-Ku itu, karena apa dia masuk surga? Pas ditanya dia bilang, “karena semua amal-ibadahku”. Kemudian Allah bilang ke malaikat, “lemparkan dia ke neraka”. Si hamba protes, “kenapa saya masuk neraka, kan selama hidupku saya hanya pakai ibadah buat Kamu.” Allah tanya lagi, “kenapa kau masuk ke surga?” si hamba masih ngasih jawaban yang sama. Maka Allah berkata,” kau masuk surga karena rahmat-Ku” nah si hamba masih ngotot sama amal ibadahnya. Akhirnya Allah memerintahkan malaikat untuk menimbang amal ibadahnya seumur hidup dengan satu nikmat bola mata. Dan ternyata lebih berat nikmat melihat itu dari pada amalnya selama ini. Lalu Allah melanjutkan, “Tahukah kamu, siapakah yang menciptakan kamu, kemudian meletakkan kamu sendirian di sebuah pulau, tapi tidak meninggalkanmu terlunta. Siapa yang menumbuhkan untukmu satu buah pohon yang setiap hari berbuah. Siapa yang mengalirkan sungai untukmu di tengah-tengah asinnya air samudera. Itu semua adalah rahmatku.” Maka si hamba pun mengaku, pas ditanya terakhir kali, karena apa dia masuk surga, dia menjawab “semua karena rahmat-Mu ya Allah.” Maka kata Allah, masukkan dia ke dalam surga-Ku.”

Begitulah, semoga kita semakin sadar setiap hari. Ya sekali-kali kita merenung memikirkan kehidupan ini, jangan terlalu terlena dimainkan sama dunia. Dunia ini tidak ada apa-apanya, dibandingkan dengan nikmatnya bisa menatap wajah Kanjeng Nabi kelak.

*Mahasiswa Ilmu Agama Islam 2010, Universitas Negeri Jakarta.

0 komentar: