21 Desember 2012

Soleman Siregar, Imam Hidayat*

Pendahuluan
Teologi sebagaimana yang dikatakan oleh Harun Nasution, adalah membahas ajaran-ajaran dasar dari sesuatu agama. Setiap orang ingin menyelami seluk-beluk agamanya secara mendalam, perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang dianutnya. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada landasan kuat, yang tidak mudah diombang-ambing oleh predaran zaman.[1] Istilah teologi ini biasanya lebih dikenal dalam ilmu tauhid atau juga ilmu kalam. Ilmu tauhid adalah ilmu yang membahas tentang keesan Tuhan dalam pandangan Islam.
Membahas Keesan Tuhan, berarti berbicara mengenai sifat-sifat Tuhan. Dalam konsep teologi, nantinya akan sering dikemukakan tentang sifat-sifat Tuhan. Semua aliran dalam Islam sepakat bahwa jumlah Tuhan adalah satu, tetapi apakah Tuhan itu mempunyai sifat? Atau apakah sifat yang ada pada Tuhan itu sekaligus merupakan zat Tuhan. Atau memang Tuhan itu tidak mempunyai sifat, karena akan membawa pada paham anthromorphism? Jika Tuhan mempunyai sifat. Sifat yang bagaimanakah yang ada pada Tuhan?  Pertanyaan-pertanyaan di atas tentunya akan dijawab oleh masing-masing aliran dalam teologi.
Kemudian, istilah ilmu kalam biasanya lebih dekenal dalam konteks sebuah perdebatan, apakah sesungguhnya yang dimaksud dengan kalam itu? Kalam jika ingin didefinisikan mempunyai arti kata-kata. Tetapi, apakah kalam yang dimaksud adalah sabda Tuhan, dalam arti kata-kata Tuhan? Atau kata-kata manusia.  Hal ini, sejak dulu sampai dengan sekarang menjadi sebuah perdebatan panjang oleh kelompok-kelompok Islam yang tidak berujung pada sebuah kesepakatan. Dalam Islam terdapat berbagai macam aliran teologi, seperti aliran Jabariah, Qadariah, Mu’tazilah, Ahl Sunnah, dan lain sebagainya. Di Indonesia, yang lebih terkenal adalah aliran Asy’ariah. Aliran ini di populerkan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari. Suatu aliran tradisional yang menentang paham Mu’tazilah sebagai paham liberal. Di samping aliran Asy’ariah yang muncul sebagai respon dari aliran Mu’tazilah, muncul pula aliran Maturidiah, yang dipopulerkan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidi. Aliran ini juga muncul sebagai respon dari aliran yang bersifat liberal, yaitu Mu’tazilah. Dari kedua aliran ini, terbentuklah suatu aliran yang disebut Ahl Sunnah wa al-Jama’ah
Aliran-aliran teologi ini muncul disebabkan oleh faktor politik umat Islam, yang bermula pada terpilihnya Usman Ibn Affan sebagai khalifah atau pemimpin umat Muslim, hingga beliau terbunuh di Mesir oleh para pemberontak yang tidak menyukai kepemimpinan Usman. Dan puncak dari konflik umat Islam adalah pada masa kepemimpinan Ali. Dimana banyak pihak-pihak tertentu, seperti Talhah dan Zubeir, kemudian juga Muawiyah yang ingin merebut kekuasaan dari Ali. Sampai kepada terjadinya arbitrase antara Ali dan Muawiyah. Sehingga dengan arbitrase ini Ali menjadi tersingkirkan sebagai khalifah.
Dalam kejadian ini, timbul protes dari sebagian para pendukung Ali tentang arbitrase yang telah dilaksanakannya. Sampai kepada mereka keluar dari barisan Ali, dan mengatakan bahwa mereka yang telah melakukan arbitrase adalah kafir. Kelompok ini disebut dengan Khawarij. Dalam perkembangannya menurut kelompok Khawarij, bukan lagi hanya karena arbitrase yang mereka anggap kafir, tetapi juga mereka menganggap kafir orang-orang yang berbuat dosa besar. Persoalan mengenai dosa besar inilah yang kemudian menimbulkan berbagai macam aliran dalam teologi. Karena nantinya aliran-aliran ini muncul sebagai respon atas persoalan dosa besar tadi. Maka muncul, aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, dan Ahl Sunnah. Adapun yang masih tinggal dalam aliran-aliran tersebut sampai sekarang adalah aliran Ahl Sunnah. Aliran-aliran seperti Khawarij, Murji’ah, dan Mu’tazilah, dalam hal nama mungkin saat ini sudah tidak ada lagi. Tetapi pada zaman modern ini, pemikiran-pemikiran dari aliran Mu’tazilah sudah mulai bermunculan dan berkembang oleh para pemabaharu Islam dan para cendekiawan Islam. Sebut saja pemikir Islam seperti Muhammad Abduh di Mesir. Di Indonesia seperti kelompok JIL, yang dipelopori oleh Ulil Abshar Abdalla dan kawan-kawannya.
Selanjutnya, yang lebih mencolok dalam perkembangan teologi Islam adalah aliran Mu’tazilah dan Ahl Sunnah. Ke dua aliran ini tidak hanya mempersoalkan dosa besar seperti yang telah dikatakan di atas, tetapi juga ke dua aliran ini telah sampai kepada pembahasan tentang konsep Ketuhanan. Maka dari itu, dalam pembahasan akan dijelaskan mengenai corak pemahaman dari ke dua aliran ini. Mulai dari sejarah munculnya ke dua aliran tersebut, sampai kepada konsep Ketuhanan. Adapun, terkait konsep Ketuhanan disini hanya dibatasi sampai kepada pembahasan-pembahasan tertentu. Yaitu, tentang akal dan wahyu, free will dan predestination.

Pembahasan

1.   Sejarah Munculnya Aliran Mu’tazilah dan Ahl Sunnah
Mu’tazilah adalah suatu golongan dalam perkembangan pikiran umat Islam yang mementingkan akal. Mereka adalah ulama-ulama Islam yang sangat rasionalistis. Mereka sebenarnya sangat kritis bukan hanya terhadap hadis-hadis Nabi dan cara-cara penafsiran al-Qur’an, tetapi juga kritis terhadap pengaruh ajaran Filsafat Yunani, seperti Aristotoles.[2] Sebagaimana pengertian yang dikatakan di atas, kaum Mu’tazilah dalam hal ini merupakan golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum rasionalis Islam”.[3] Dalam aliran Mu’tazilah terdapat lima ajaran dasar atau biasa dikenal al-Usul al Khamsah, yaitu: Tauhid, Al-‘Adl (Keadilan), Wa’ad al Wa’id (janji dan ancaman), Al-Manzilah baina manzilatain (tempat di antara dua tempat), Amar ma’ruf nahi munkar (perintah kebaikan dan melarang kejahatan).[4]

Kelima dasar ajaran tersebut di atas adalah dasar utama yang harus dipegangi oleh setiap orang yang mengaku dirinya sebagai orang Mu’tazilah dan hal ini sudah menjadi kesepakatan mereka. Akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam soal-soal kecil (perinci-perincian) ketika memperdalam pembahasan kelima dasar atau prinsip tersebut dan menganalisanya dengan di dasarkan atas pikiran-pikiran Filsafat Yunani dan lain sebagainya.[5] Sebagaimana yang dikatakan oleh Harun Nasution, bahwa mengenai sejarah penamaan Mu’tazilah terdapat banyak versi atau teori-teori. Dimana, teori-teori ini berbeda satu sama lainnya. Ada yang mengatakan bahwa Mu’tazilah muncul sebagai respon atas sebuah pertanyaan dari seseorang mengenai dosa besar. Yaitu dalam hal ini, Wasil Ibn Ata menjawab bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir. Jawaban ini merupakan jawaban yang berbeda dari suatu perkumpulan Hasan al-Basri di Mesjid Basrah. Karena jawaban yang berbeda ini, Wasil meninggalkan barisan tersebut. Dengan demikian, ia disebut sebagai kaum Mu’tazilah.[6]
Versi lain yang diberikan oleh Tasy Kubra Zadah, menyebut bahwa Qatadah Ibn Da’amah pada suatu hari masuk ke Mesjid Basrah dan menuju ke majelis ‘Amr ibn ‘Ubaid yang disangkanya adalah majelis Hasan al-Basri. Setelah ternyata baginya bahwa itu bukan majelis Hasan al-Basri ia berdiri dan meninggalkan tempat itu, sambil berkata: “Ini kaum Mu’tazilah.” Semenjak itu, kata Tasy Kubra Zadah, mereka disebut kaum Mu’tazilah.[7] Al-Mas’udi memberikan keterangan lain lagi, yaitu dengan tidak mempertalikan pemberian nama itu dengan peristiwa pertikaian paham antara Wasil dan ‘Amr dari satu pihak dan Hasan al-Basri dari pihak lain. Mereka disebut kaum Mu’tazilah karena mereka berpendapat bahwa orang berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir, tetapi mengambil posisi di antara ke dua posisi itu (al-manzilah bain al-manzilatain). Menurut versi ini mereka disebut kaum Mu’tazilah, karena mereka membuat orang yang berdosa besar jauh dari (dalm arti tidak masuk) golongan mukmin dan kafir.[8] Di samping keterangan-keterangan klasik ini, ada teori baru yang dimajukan oleh Ahmad Amin. Nama Mu’tazilah sudah terdapat sebelum adanya peristiwa Wasil dengan Hasan al-Basri dan sebelum timbulnya pendapat tentang posisi di antara dua posisi.[9]
Untuk mengetahui asal-usul nama Mu’tazilah itu dengan sebenarnya memang sulit. Berbagai pendapat dimajukan ahli-ahli, tetapi belum ada kata sepakat antara mereka. Yang jelas ialah bahwa nama Mu’tazilah sebagai designatie bagi aliran teologi rasional dan liberal dalam Islam timbul sesudah peristiwa Wasil dengan Hasan al-Basri di Basrah dan bahwa lama sebelum terjadinya peristiwa Basrah itu telah pula terdapat kata-kata I’tazala, al-Mu’tazilah. Pendekatan yang sekiranya mudah dalam memahami asal-usul Mu’tazilah adalah bisa dilakukan dengan pendekatan bahasa. Mu’tazilah berasal dari kata, i’tazala-ya’tazilu-i’tizal. Mu’tazilah yang berarti orang yang memisahkan diri atau mengasingkan diri. Dapat dikatakan beri’tizal.[10] Selanjutnya, yang sekiranya penting untuk diketahui adalah tentang siapa sebenarnya yang memberikan predikat atau sebutan kepada Mu’tazilah tersebut. Ada yang mengatakan golongan lawanlah yang memberikan nama itu kepada mereka. Tetapi kalau kita kembali ke ucapan-ucapan kaum Mu’tazilah itu sendiri, akan kita jumpai di sana keterangan-keterangan yang dapat memberik kesimpulan bahwa mereka sendirilah yang memberikan nama itu kepada golongan mereka, atau sekurang-kurangnya mereka setuju dengan nama itu. Al-Qadi ‘Abd al-Jabar, umpamanya mengatakan bahwa kata-kata i’tazala yang terdapat dalam Al-Qur’an mengandung arti menjauhi yang salah dan tidak benar dan dengan demikian kata Mu’tazilah mengandung arti pujian. 

Selanjutnya ia menerangkan adanya hadis Nabi yang mengatakan bahwa umat akan terpecah menjadi 73 golongan dan yang paling patuh dan terbaik dari seluruhnya ialah golongan Mu’tazilah. Bahkan menurut Ibn al-Murtada kaum Mu’tazilah sendirilah, dan bukan orang lain yang memberikan nama itu kepada golongan mereka.[11] Kemudian, Dr. Noor Rachmat sebagaimana kutipannya, beliau mengatakan menurut al-Syahrastani di dalam kitabnya al-Milal wa al-Nihal bahwa kaum Mu’tazilah sendiri menamakan sebagai ahlul al-adl wa al-tauhid (ahli keadilan atau tauhid).[12] Demikan pula Ahmad Amin berpendapat bahwa orang-orang Mu’tazilah sendiri menamakan dirinya ahlu al-adl wa al-tauhid. Menyebut ahlu al-adl karena mereka mensucikan Allah menentukan kemaksiatan kepada manusia dan kemudian menyiksanya. Manusia menurut mereka mempunyai kebebasan berbuat, oleh karena itu adalah tidak adil apabila manusia disiksa karena perbuatannya. Adapun sebutan ahlu al-tauhid, karena meniadakan sifat-sifat Allah.[13] Pemberian sifat kepada Tuhan akan membawa kepada paham syirk atau politeisme, karena dengan demikian yang bersifat qadim (tidak bermula) akan banyak. Untuk memelihara murninya tawhid atau kemahaesaan Tuhan, tidak boleh dikatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat. Tuhan tetap mengetahui, berkuasa, pemurah, dan sebagainya. Tetapi semua itu bukanlah sifat melainkan esensi Tuhan.[14]
 
Adapun tentang Ahl Sunnah, sebagaimana yang telah dipaparkan dalam latarbelakang, bahwa Ahl Sunnah adalah suatu aliran yang tergabung dari teologi Asyariah dan Maturidiah. Aliran ini muncul sebagai respon atas aliran liberal Mu’tazilah. Sebagaimana Harun Nasution mengatakan bahwa, term ahli Sunnah dan Jama’ah ini kelihatannya timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham golongan Mu’tazilah dan terhadap sikap mereka dalam menyiarkan ajaran-ajaran itu, di samping usaha-usaha yang dijalankan dalam menentang serangan musush-musush Islam.[15] Dalam hubungan ini Tasy Kubra Zadah menerangkan: “. . . dan aliran Ahli Sunnah dan Jama’ah muncul (zahara) atas keberanian  dan usaha Abu al-Hasan al-Asy’ari di sekitar tahun 300 H, karena ia lahir di tahun 260 H, dan menjadi pengikut Mu’tazilah selama 40 tahun.” Dengan kata lain al-Asy’ari keluar dari golongan Mu’tazilah sekitar tahun 300 H dan selanjutnya membentuk aliran teologi yang kemudian dikenal dengan namanya sendiri. Tetapi lama sebelum lahirnya aliran Asy’ari kata sunnah dan jama’ah telah dijumpai  di dalam tulisan-tulisan Arab. Umpamanya di dalam surat al-Ma’mum, kepada gubernurnya Ishaq Ibn Ibrahim yang ditulis di tahun 218 H, yaitu sebelum al-Asy’ari lahir, tercantum kata-kata wa nasabu anfusahum ila al-sunnah (mereka mempertalikan diri mereka dengan sunnah) dan kata-kata ahl al-haq wa al-din wa al-jama’ah (ahli kebenaran, agama dan jama’ah).[16]
Al-Asyari, seperti yang dikatakan bahwa ia sebelumnya adalah pengikut Mu’tazilah. Tetapi, tanpa sebab yang tidak begitu jelas, ia keluar dari golongan tersebut. Suatu riwayat dari al-Subki dan Ibn ‘Asakir mengatakan bahwa, pada suatu malam al-Asy’ari bermimpi. Dalam mimpi itu Nabi Muhammad SAW mengatakan kepadanya bahwa mazhab Ahli Hadislah yang benar, dan mazhab Mu’tazilah salah. Versi lain mengatakan bahwa, al-Asyari berdebat dengan gurunya al-Jubba’I dan dalam perdebatan itu sang guru tak dapat menjawab tantangan murid.[17] Tetapi bagaimanapun al-Asya’ari meninggalkan paham Mu’tazilah seketika golongan ini sedang berada dalam fase kemunduran dan kelemahan. Setelah al-Mutawakkil membatalkan keputusan al-Ma’mun tentang penerimaan aliran Mu’tazilah sebagai mazhab negara, kedudukan kaum Mu’tazilah mulai menurun, apalagi setelah al-Mutawakkil menunjukkan sikap penghargaan dan penghormatan terhadap diri Ibn Hanbal, lawan Mu’tazilah terbesar di waktu itu.[18]
 
Ajaran-ajaran al-Asy’ari ada sebagai penentang dari ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah. Sebagai lawan dari Mu’tazilah Al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan tetap mempunyai sifat-sifat. Tuhan kata Al-Asy’ari tidak mungkin mengetahui dengan esensi-Nya, Tuhan harus mengetahui dengan sifat-Nya. Al-Qur’an bukanlah diciptakan, tetapi bersifat qadim, karena Tuhan semenjak azal bersabda. Perbuatan manusia bukanlah diwujudkan manusia sendiri, tetapi diciptakan Tuhan. Manusia bukanlah pencipta, karena tiada Pencipta selain dari Tuhan. Tetapi dalam perwujudan perbuatannya manusia mempunyai bagian, sungguhpun bagian tidak efektif. Bagian yang tidak efektif ini diberi nama al-kasb. Karena Tuhan berkuasa mutlak, Tuhan tidak mesti melaksanakan janji-janji baik dan ancaman-ancaman-Nya. Tuhan sebagai Pemilik Mutlak berbuat sekehendak hati-Nya terhadap makhluk-Nya. Itulah yang disebut adil. Tidak dapat berbuat sekehendak hati terhadap yang dimiliki mengandung arti ketidakadilan. Mengenai dosa besar Al-Asy’ari sependapat dengan Murji’ah moderat.[19]

2.   Akal dan Wahyu
Teologi sebagai ilmu yang membahas soal ketuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan, memakai akal dan wahyu dalam memperoleh pengetahuan tentang kedua soal tersebut. Akal, sebagai daya berfikir yang ada dalam diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada diri Tuhan, dan wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan.[20] Dalam kaitannya dengan akal dan wahyu ini, terdapat dua masalah pokok yang perlu dibahas, yaitu masalah tentang bagaimana mengetahui Tuhan dan masalah kedua tentang baik dan jahat. Dalam hal ini, tentu saja paham Mu’tazilah dan Asy’ariah (Ahl Sunnah) memiliki perbedaan pendapat tentang ke dua masalah di atas. 
Bagi kaum Mu’tazilah segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Dengan demikian berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu adalah wajib. Baik dan jahat wajib diketahui melalui akal dan demikian pula mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat adalah wajib pula.[21] Akal menurut Abu Huzail mampu dan wajib mengetahui Tuhan. Orang yang lalai mengetahui Tuhan, niscaya akan mendapat hukuman. Akal manusia juga mampu mengetahui baik dan buruk. Karena itu seseorang wajib mengerjakan perbuatan-perbuatan baik seperti bersikap adil dan berkata benar dan wajib mengetahui perbuatan-perbuatan buruk seperti berdusta dan bersikap zalim.[22] Dalam hubungan ini Abu al-Huzail dengan tegas mengatakan bahwa sebelum turunnya wahyu, orang telah berkewajiban mengetahui Tuhan. Dan jika ia tidak berterima kasih kepada Tuhan, orang demikian akan mendapat hukuman.[23]
Dalam dua pernyataan Abu Huzail di atas dapat diketahui bahwa, Abu Huzail telah mendapatkan dan memanfaatkan potensi akal yang diberikan Tuhan dalam kapasitas besar yaitu berfikir mandalam untuk mengetahui hal-hal yang bersifat abstrak. Hal ini bukan berarti Abu Huzail menolak petunjuk yang bersumber pada wahyu Tuhan. Melainkan, dalam batas-batas tertentu petunjuk wahyu dibutuhkan untuk menjadi dasar penetapannya. Sungguhpun Abu Huzail mengakui besarnya kekuatan akal.[24]
 
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kaum Mu’tazilah dalam menanggapi dua persoalan di atas tadi, semua itu dapat diketahui oleh akal. Dengan kata lain, kaum Mu’tazilah sangat memberikan peluang yang besar kepada akal dalam menjawab dua persoalan di atas. Dari aliran Asy’ariah (Ahl Sunnah), al-Asy’ari sendiri menolak sebagian besar dari pendapat kaum Mu’tazilah di atas. Dalam pendapatnya segala kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Akal tak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia. Betul akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya. Juga dengan wahyulah dapat diketahui bahwa yang patuh kepada Tuhan akan memperoleh upah dan yang tidak patuh kepada-Nya akan mendapat hukuman.[25]
Harun Nasution dengan mengutip pendapat al-Syahrastani mengatakan bahwa Ahli Sunnah yaitu kaum Asy’ariah berpendapat bahwa kewajiban-kewajiban diketahui dengan wahyu dan pengetahuan diperoleh dengan akal. Akal tidak dapat menentukan bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat dalah wajib, karena akal tidak membuat sesuatu menjadi harus atau wajib. Wahyu sebaliknya tidak pula mewujudkan pengetahuan. Wahyu membawa kewajiban-kewajiban.[26]Dengan demikian, kaum Asy’ariah dalam menanggapi dua persoalan di atas hanya memberikan peluang yang kecil bagi akal. Dalam artian, akal hanya sebatas pada tataran informasi atau pengetahuan tentang segala sesuatu. Adapun pemberian aspek hukum pada sesuatu harus memakai wahyu. Untuk menengahi dua pendapat di atas, Harun Nasution mengatakan bahwa tidak ada di antara aliran-aliran dalam teologi Islam, khususnya dalam hal ini aliran Mu’tazilah dan Ahlu Sunnah, yang tidak tunduk kepada wahyu dan tidak ada pula diantaranya yang tidak memakai akal.[27] Jadi, diantara keduanya sama-sama mengapresiasi wahyu dan akal.

3  Free Will dan Predestinatoin
Dalam studi mengenai Mu’tazilah dan Ahlu As-Sunnah Wa al-Jamaah (Aswaja) pastinya sangat erata dengan istilah Free Will (Qadariyah) dan Predestination (Jabariyah). Sebelum masuk kedalam pembahasan akan diberikan wacana seperti ini, Ada sebah teori fisika  yakni “kohesi” yang dimaksud kohesi adalah keterkaitan antara keinginan manusia dan dukungan semesta. Dari situ dapat dijelaskan, sebenarnya ketika seorang peneliti melakaukan penelitian observasi dan pemikiran si peneliti akan berpengaruh langsung terhadap gerak-gerik dan keberadaan partikel-partikel objek penelitian tersebut. Jika si peneliti mengharapkan hasil penelitian A, maka hasil penelitian tersebut akan cenderung A. Jika si peneliti menghendaki hasil C, maka hasil penelitian tersebut akan cenderung C.[28]

Kenapa bisa seperti itu, apa sebabnya? Sebab, partikel-partikel bisa saling terkait (etangled). Akibat dari keterikatan itu membuat sifat partikel-partikel tadi saling berkolerasi satu sama lain, tanpa terikat ruang dan waktu. Dan dari situ kita ketahui bahwa realitas hasil penelitian dari sebuah penelitian sebenanya “ditentukan” oleh peneliti sendiri. Misal jika seseorang sering melihat dirinya sebagai pencopet, maka dengan izin Allah pada suatu ketika dia akan menjadi pencopet. Jiak seorang melihat dirinya tidak bisa hidup kaya tanpa korupsi, dengan izin Allah pada suatu ketika dia adalah seorang yang bermental korup. Jika seseorang melihat hidup ini sulit, mencari rezeki yang halal pun sulit, maka dengan izin Allah itu yang akan terjadi pada dirinya.

Mengenai aliran Mu’tazilah yang dalam sistem teologinya mereka berpandangan bahwa manusia memiliki daya yang besar dan juga kebebasan, pastilah kita akan mengarah pada paham Qodariyah atau free will. Sebenarnya ketika berbicara mengenai hubungan Tuhan dan manusia, maka aliran Mu’tazilah memiliki keyakinan yakni al-shalih wa al-aslah maksudnya sebenarnya Tuhan memiliki sebuah ketetapan bahwa Dia (Allah) pasti selalu berbuat baik bagi manusia. Sehingga kalau pun ada hal yang terjadi sebaiknya yaitu berupa kemungkaran itu adalah karena perbuatan makhluknya, dari situlah Allah tidak memiliki tanggungjawab terhadap hal tersebut. Karena manusia telah diberi kehandak pilihan (iradah juz’iyah) dan nantinya setiap yang diperbuat oleh manusia termasuk dalam pertanggungjawaban manusia pada Tuhan.

Menurut Abu Huzail[29] paham tentang kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan itu hanya ada di dunia ini. Sedangkan ketika nanti di akhirat tidak ada lagi kebebasan. Karena dunia ini sifatnya taklifi, tempat dimana manusia diberi tanggungjawab.[30] Dan Al-Jubbai[31] bahwa manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatanya, manusia berbuat baik dan buruk, patuh tidak patuh pada kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri.[32] Dari perbuatan yang dilakukan manusia pasti ada daya yang menggerkannya, maka disitu menurut aliran Mu’tazilah mereka berargumen bahwa ketika manusia diciptakan telah diberikan segalanya oleh Tuhan dan ketika itu daya dalam diri manusia pun sudah menjadi daya pada diri manusia, dan mereka tidak menerima bahwa dalam diri manusia ada dua daya yakni daya manusia dan Tuhan, menurutnya ketika kita sebagai manusia mendapatkan kebaikan dan keburukan dari teman atau manusia yang lain, kita akan berterima kasih dan marah kepadanya. Dengan demikian bahwa Mu’tazilah tidak menggap perwujudan perbuatan manusia Tuhan tuhan tidak memiliki bagian dan semua daya itu adalah sudah diciptakan Tuhan dalam diri manusia sudah dari awal dilahirkan.

Dan yang juga samapai saat ini Aliran yang menjadi maintrems yakni Ahlu as-Sunnah Wa al-Jamaah memiliki pandangan berbeda, yakni berawal dari dua aliran yang juga menentang aliran Mu’tazilah. Aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah dua aliran yang menentang aliran Mu’tazilah yakni keberanian Abu Hasan al-Asy’ari[33] terbentuklah Aliran Aswaja yang dalam lapangan teologi Islam adalah aliran Asy’ari dan Maturidi. Aliran Asy’ariya sangat menolah pandangan Mu’tazilah mengenai free will akan tetapi Aliran Maturidiah Samarknd yang di plopori oleh Abu Mansur[34] sebagai pengikut Abu Hanifah maka dalam pandangan teologinya banyak memakai akal. Sehingga terdapat perbedaan dalam reaksi terhadap aliran Mu’tazilah. Dalam sifat-sifat Tuhan Asy’ari dan Maturidi memiliki kesamaan, yakni tuhan memiliki sifat-sifat, dan Tuhan mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan berkuasa bukan dengan zat-Nya.[35] Tetapi dalam perbuatan-perbuatan manusia al-Maturidi sependapat dengan aliran Mu’tazilah, dengan demikian aliran ini memiliki paham Qadariyah, bukan jabariyah ataupun Kasb Asy’ariyah. Mengenai Kasb Asy’ariyah, dengan argumen menggunakan dalil QS. Al-Saffat(37) ayat 96;  “Tuhan menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat” 

Pada kata wa ma ta’malun diartikan oleh Asy’ari “apa yang kamu perbuat” makna kasb adalah serupa dengan gerak involentir yang juga memiliki dua unsur, pembuat dan yang memperoleh perbuatan. Pembuat yang sebenarnya dalam al-kasb ialah Tuhan, dan yang memperoleh perbuatan adalah manusia. Kalau dianalogikan seperti halnya sistem listrik pada PLN, yakni ketika kita memiliki kipas angina maka kipas angina tersebut bergerak dengan sendirinya akan tetapi bagaiman dia bergerak itu disebabkan ada daya listrik yang dialirkan kapada kipas tersebut, dan terjadi berkelanjutan, jadi seandainya listriknya mati maka kipas pun mati, dan tidak bergerak. Akan tetapi Aswaja yang berpandangan teologi Asy’ari dan Maturidi sama-sama menolah paham as-Shalih wa al-Aslah akan tetapi memang Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu menurut Maturidi. Dan juga yang ditolak oleh aswaja mengenai paham masalah kalam Allah, atau sabda Tuhan yang menurutnya besifat qadim dan tidak diciptakan. Serta soal dosa besar menurut Aswaja orang yang melakukan dosa besar masih mukmin, tentang dosanya itu Allah yang menentukan, mereka menolak paham Mu’tazilah “al-Manzilah bain al-Manzilatain”[36]

Dari pemahaman tentang teologi Islam mengenai soal akal, fungsi wahyu dan kebebasan serta kekusaan manusia atas kehendak dan perbuatannya juga terdapat perbedaan tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Dari aliran Asy’ari , Maturidi Bakhara, Mu’tazilah, Maturidi Samarkand.Al-Asy’ari menulis : di atas Tuhan tidak ada sesuatu yang lain yang dapat membuat hukum dan dapat menetukan apa yang boleh dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat Tuhan. Artinya Tuhan absolut, sang Pemilik. Atau apa yang dikatakan al-Baghdadi : Tuhan bersifat adil dalam segala perbuatan-Nya. Tidak ada suatu larangan pun bagi Tuhan. Ia buat apa saja yang dikehendaki-Nya. Seluruh makhluk milik-Nya dan perintah-Nya adalah di atas segala perintah. Ia tak bertanggungjawab tenteng perbuatan-perbuatan-Nya kepada siapa pun.[37]

Sedangkan aliran Mu’tazilah bependapat bahwa Tuhan sebenarnya tidak bersifat mutlak lagi. Setatus mutlak-Nya dibatasi oleh sifat Keadilan Tuhan, jadi Ia sudah terikat oleh sifat keadilan jika sifat keadilanya dilanggar maka Tuhan tidak adil lagi bahkan dzalim. Dan kemutlakan-Nya pun dibatasi oleh kewajibannya yakni “al-shalih wa al-aslah” dan juga dibatasi oleh kelamaiahan alam semesta (sunnah Allah) yang tidak mengalami perubahan. Dan pada akhirnya antara golongan Maturidi Smarkand dan Maturidi Bukhara berbeda pula, jika Maturidi Smarkand tetap memberikan batasan-batasan tetapi tidak sebanyak Mu’tazilah yakni tentang kemerdekaan manusia, hukuman terhadap manusia tidak sewenang-wenang tetapi berdasarkan bagaiman manusia mengunakan daya untuk berbuat baik atau jahat dan, mengenai hukuman Tuhan tidak boleh tidak mesti terjadi (harus pasti). Dan bagi aliran Bakhara, ia masih memberikan kemutlakan kekuasaan Tuhan.

Kesimpulan 
Mu’tazilah muncul sebagai respon atas sebuah pertanyaan dari seseorang mengenai dosa besar. Yaitu dalam hal ini, Wasil Ibn Ata menjawab bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir. Jawaban ini merupakan jawaban yang berbeda dari suatu perkumpulan Hasan al-Basri di Mesjid Basrah. Karena jawaban yang berbeda ini, Wasil meninggalkan barisan tersebut. Dengan demikian, ia disebut sebagai kaum Mu’tazilah. Penamaan Mu’tazilah adalah suatu nama yang diberikan oleh kaum mereka sendiri, atau sekurang-kurangnya mereka setuju atas nama yang diberikan tersebut. 

Bagi kaum Mu’tazilah segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Dengan demikian berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu adalah wajib. Baik dan jahat wajib diketahui melalui akal dan demikian pula mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat adalah wajib pula.

Dalam pendapat Ahlu Sunnah, segala kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Akal tak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia. Betul akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya. Juga dengan wahyulah dapat diketahui bahwa yang patuh kepada Tuhan akan memperoleh upah dan yang tidak patuh kepada-Nya akan mendapat hukuman.

Mu’tazilah mempunyai konsep free will, yaitu memandang bahwa manusia bebas dan berkehendak mutlak dalam segala perbuatan yang dilakukannya. Dan sebaliknya Ahlu Sunnah mempunyai konsep Predestination. Yaitu, memandang bahwa segala perbuatan yang dilakukannya merupakan ciptaan Tuhan.
 

*Mahasiswa Ilmu Agama Islam 2010, Universitas Negeri Jakarta.
 
DAFTAR PUSTAKA

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Jakarta: UI-Press, 2009.

Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta: UI-Press, 1987.

Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 2010.

Noor Rachmat, Ilmu Akidah Kalam: Teologi Islam, Bekasi: Fikra Publika, 2011.

Prayogi R., Saputra, Spiritula Journey; Emha Ainun Nadjib,Jakarta: Kompas Gramedia, 2012.

 

[1] Harun Nasution, Sebuah Pendahuluan, dalam Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa
   Perbandingan
, (Jakarta: UI-Press, 2010).
[2] Noor Rachmat, Ilmu Akidah Kalam: Teologi Islam, (Bekasi: Fikra Publika, 2011), hlm 55.
[3] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm 40.
[4] Lebih jelasnya tentang pengertian lima ajaran dasar Mu’tazilah ini, lihat Noor Rachmat, dalam
   Ilmu Akidah Kalam: Teologi Islam, hlm 77.
[5] Noor Rachmat, Ilmu Akidah Kalam: Teologi Islam, hlm 56.
[6] Lihat Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm 40.
[7] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm 41.

[8] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm 41.
[9] Lebih lengkapnya, liat Harun Nasution, dalam Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa
  Perbandingan
, hlm 41.
[10] Noor Rachmat, Ilmu Akidah Kalam: Teologi Islam, hlm 57.
[11] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm 43-44.
[12] Noor Rachmat, Ilmu Akidah Kalam: Teologi Islam, hlm 61.

[13] Noor Rachmat, Ilmu Akidah Kalam: Teologi Islam, hlm 61.
[14] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, (Jakarta: UI-Press, 2009), hlm
    34.
[15] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm 62.
[16] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm 65.
[17] Perdebatan antar al-Asy’ari dengan gurunya lebih jelasnya, lihat Harun Nasution, Teologi Islam:
   Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan
, hlm 66.
[18] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm 68-69
[19] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, hlm 36.
[20] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm 81.
[21] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm 82.
[22] Noor Rachmat, Ilmu Akidah Kalam: Teologi Islam, hlm 68.
[23] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm 82.
[24] Noor Rachmat, Ilmu Akidah Kalam: Teologi Islam, hlm 68.
[25] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm 83-84.
[26] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm 84.
[27] Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI-Press, 1987),
   hlm 59.
[28] Prayogi R.,Saputra. Spiritual Journey ;Emha Ainun Nadjib. Jakarta;Kompas Gramedia.2012.hlm. xv
[29] Nama lengkapnya Abdul al-Huzail Muhammad Ibn al-Huzaol al-Allaf  lahir tahun 135 H, pada masa daulah Abbasiyah dan meninggal pada tahun 235 H pada masa awal pemerintahan al-Mutawakil. Ia adalah pemimpin Mu’tazilah pada masanya (ke-2) dan ia memiliki andil besar dalam memasukan dasar-dasar filsafat dalam aliran Mu’tazilah. (Noor Rachmat. Teologi Islam. Hlm. 66.)
[30] Noor Rachmat.Teologi Islam.Bekasi: Fikra Publika.2011. hlm. 67.
[31] Nama lengkapnya adalah Abu Ali Muhammad Ibn Al-Jubbai. (Noor Rachmat. Teologi Islam. Hlm. 70.)
[32] Harun Nasution. Teologi Islam.Jakarta: UI-Press.2010. hlm. 103.
[33] Lahir tahun 260 H/873 M di Basrah dan meninggal di Bagdad pada tahun 323H/935 M, menjadi pengikut Mu’tazilah selama 40 tahun. Dengan kata lain Asy’ari keluar dari aliran Mu’tazilah pada tahun 300 H.  murid dari al-Jubbai.
[34] Nama lengkapnya Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-maturidi lahir di Samarkand tahun 944 M merupakan pengikut paham teologi Abu Hanifah yang termasuk teologi ahlu sunnah.
[35] Harun Nasution, Teologi Islam, hlm. 77
[36] Harun Nasution, Teologi Islam, hlm. 78.
[37] Harun Nasution, Teologi Islam, hlm. 119.

0 komentar: