9 September 2013

Oleh: Soleman Siregar  
Begitu berat terasa program belajar yang dilaksanakan oleh murid-murid (santri dan mahasiswa) Pondok Pesantren Sulaimaniyah. Dari pagi hingga malam, mereka terus belajar dan melaksanakan program di ponpes ini dengan penuh disiplin diri. Muka-muka ngantuk, susah melek, mengisi hari-hari mereka dalam proses menimba ilmu agama. Sebuah perjuangan hidup yang menyulitkan untuk di atasi. Berikut ini adalah sebuah tulisan dalam rangka mencoba untuk memotivasi mereka agar terus bersemangat dalam belajar dan menimba ilmu agama.
Jika diamati, dapat dikatakan bahwa kelelahan belajar adalah sebuah syarat dari tercapainya pengalaman spiritual. Sebuah contoh diperlihatkan dari pengalaman Nabi Muhammad SAW, bahwa beliau ketika menerima wahyu dari Allah SWT adalah pada saat beliau sedang berkontemplasi (merenung/berfikir panjang). Sebuah kondisi diri yang tentunya sangat melelahkan  bagi Rasulullah.

12 Juli 2013

Tuhan Yang Tak Ter(rumus)kan

Oleh: Soleman Siregar
Sebagai asumsi dasar dari tulisan kecil-kecilan dibawah ini adalah bahwa Tuhan yang selama ini dipahami umat Islam pada umumnya adalah Tuhan yang sudah dikonsepsikan berdasarkan kitab suci. Sebuah ibrah (pelajaran) yang sebetulnya dapat dipetik tentang pencarian makna Tuhan adalah bisa dilihat dari kisah nabi Ibrahim berikut ini.
Nabi Ibrahim dalam mencari pemahaman tentang Tuhan belum dibingungkan oleh wahyu atau kitab suci. Dalam pencariannya itu, menurutnya matahari atau bulan adalah Tuhannya. Tetapi, dia berfikir bagaimana mungkin Tuhan itu adalah sesuatu yang bisa sewaktu-waktu muncul (terlihat) dan sewaktu-waktu tenggelam (tidak terlihat)? Ia terbingungkan dengan hal ini, tetapi kebingungannya itu tidak membuatnya putus asa dan terus mencari pengetahuan tentang Tuhan dengan akalnya. Pada sebuah kesimpulannya, ia berpendirian bahwa Tuhan itu adalah Yang Menciptakan kedua benda tersebut, yakni matahari dan bulan, beserta seluruh isi di dunia ini. Saya ingin mencoba menarik arti dari kisah di atas, bahwa Tuhan yang dipahami oleh Nabi Ibrahim secara eksoterik  adalah Tuhan Yang Maha Pencipta yang dipersepsikan atau dibentuk oleh Nabi Ibrahim sendiri. Tetapi, dilihat dari kebingungan Nabi Ibrahim dalam mencari pengetahuan tentang Tuhan, maka secara esoterik Tuhan yang dimaksud adalah Tuhan Yang Tidak Dapat Diketahui (al-ilah al-majhul).
Kisah Nabi Ibrahim di atas telah membuat umat Muslim merasa tertantang untuk dapat mengenal-Nya. Sehingga dalam perkembangannya banyak model atau rumus yang telah dibuat manusia mengenai konsep Ketuhanan. Pencarian model konsep atau rumus tentang Tuhan ini secara historis berdampak negatif, yakni pernah melahirkan perdebatan seputar konsep ketuhanan. Sebut saja misalnya dari aliran klasik Islam, yaitu Mu’tazilah vs Ahlus sunnah.
Salah satu yang menjadi perdebatan antara Mu’tazilah dan Ahlus Sunnah  adalah tentang sifat-sifat Tuhan. Menurut Mu’tazilah, Tuhan tidak mempunyai sifat. Tuhan dalam arti bahwa segala sesuatu yang disebut sifat Tuhan sebenarnya bukanlah sifat yang mempunyai wujud tersendiri diluar zat. Tetapi, sifat yang merupakan esensi Tuhan. Konsep yang demikian ini dikemukakan oleh Wasil Ibn ‘Ata (pendiri Mu’tazilah). Konsep ini kemudian dikembangkan oleh pemuka yang lain, yaitu Abu al-Huzail. Menurutnya, sifat Tuhan itu melekat di dalam zat Tuhan itu sendiri. Jadi, Tuhan Maha Mengetahui bukan dengan sifat-Nya tetapi mengetahui dengan pengetahuan-Nya, dan pengetahuan-Nya adalah zat-Nya. Demikianlah seterusnya dengan sifat-sifat lainnya. Tuhan Maha Kuasa dengan kekuasaan dan keuasaan-Nya adalah zat-Nya. Tuhan Mahabijaksana, dengan kebijaksanaan dan kebijakasanaan-Nya adalah zat-Nya. Nampaknya, Wasil dan Huzail dalam konsep ini mengindari pemahaman anthropomorphism yang apabila dalam istilah Arab disebut al-tajassum atau al-tasybih.
Konsep tentang Tuhan di atas ditentang oleh Ahlus Sunnah. Mustahil kata al-Asy’ari (pendiri Ahlus Sunnah/Mantan Mu’tazilah), Tuhan mengetahui dengan zat-Nya, karena dengan demikian zat-Nya adalah pengetahuan dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan. Tuhan bukan pengetahuan (‘ilm) tetapi Yang Mengetahui (‘Alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukanlah zat-Nya. Demikan dengan sifat lainnya, seperti berkuasa, mendengar, melihat, dan lain-lain. Artinya, persoalan seputar konsep atau rumus tentang Tuhan di antara keduanya telah melahirkan perdebatan yang sengit.
Kedua aliran di atas mempunyai definisi tersendiri tentang Tuhan tentu saja berdasarkan kitab suci mereka, yaitu Al-Qur’an. Karena pemahaman atas teks kitab suci itulah yang selama ini membuat umat Muslim ini berbeda-beda pemikiran dan pemahaman. Hal ini disebabkan karena adanya yang disebut dengan ambiugitas teks kitab suci. Menarik apabila melihat dampak dari ambiugitas teks kitab suci ini. Salah satunya adalah yang akhir-akhir ini sering terjadi kekerasan terhadap kaum non Muslim dengan mengatasnamakan agama dengan dukungan dari dalil Al-Qur’an, yaitu:
اللَّهِ ۚوَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ ۖتَرَاهُمْ
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir. . . .” (Q.S. 48:29).
Ayat di atas sering dijadikan landasan atas pembenaran melakukan tindakan diskriminatif oleh kaum Muslim terhadap kaum non Muslim. Padahal, ayat di atas tidak relevan dengan semangat zaman pada saat ini yang menginginkan perdamaian seluruh kalangan umat manusia dan juga bertentangan dengan dalil lainnya seperti dalil toleransi, kasih sayang, kebebasan beragama, dan lain-lain. Abdalla, seorang intelektual Islam asal Indonesia, mengatakan bahwa ayat di atas turun ketika kaum Muslim dengan orang-orang kafir pada waktu itu sedang berperang dan bermusuh-musuhan. Maka, wajar apabila bunyi teks ayat itu seperti menghalalkan kekerasan terhadap orang yang bukan Muslim.
Bahkan, menurut Jalaluddin Rahmat, ketua IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia), bahwa konsep kafir bukan menyangkut masalah teologi melainkan menyangkut etika. Artinya, apabila mengikuti konsep Kang Jalal itu (begitulah panggilan akrabnya), yang harus dikeraskan itu adalah orang-orang yang suka melakukan kejahatan, seperti korupsi, pembunuhan, dan lain-lain. Dan bukan keras terhadap kepada mereka yang hanya dilihat dari perbedaan keyakinan. Tentu saja konsep Kang Jalal itu terbuka untuk dikritisi. Dan mungkin sewaktu-waktu menarik untuk mengadakan seminar di ponpes Sulaimaniyah ini terkait dengan apa yang dimaksud dengan konsep kafir itu, untuk memancing nalar intelektual para santri disini sebagai calon ulama masa depan.
Kembali kepada soal ambiguitas teks kitab suci tadi. Seperti masalah pada ayat di atas tentang berlaku keras terhadap orang kafir yang ambigu maknanya, sama halnya juga dengan pembahasan tentang Tuhan di dalam teks kitab suci yang ambigu dalam maknanya. Banyak dari orang-orang mutakallimin yang mempunyai konsep tertentu tentang Tuhan yang di dasarkan atas penafsiran terhadap Al-Qur’an. Bahkan sering kali di dalam Al-Qur’an sendiri dijumpai ayat-ayat yang berlawanan satu sama lain.
Dalam hal ini, yang ingin saya katakan adalah bahwa Tuhan yang sekarang adalah Tuhan yang sudah terumuskan atau terdefinisikan oleh manusia yang mengatasnamakan teks kitab suci. Suatu kritik tajam terhadap kaum mutakallimin dari seorang sufi Andalusia bernama Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn al-‘arabi al-Ta’i al-Hatimi menurutnya Tuhan yang sekarang adalah Tuhan yang sudah terversikan (ada versi Mu’tazilah dan versi Ahlus Sunnah), “Tuhan kepercayaan” (ilah al-mu’taqad), “Tuhan dalam kepercayaan” (al-ilah fi al-i’tiqad), “Tuhan yang dipercayai” (al-ilah al-mu’taqad). “Tuhan” itu bukan Tuhan yang sebenarnya, melainkan  “Tuhan” yang menjadi Tuhan karena ia dipercayai. Karena lahir dari kepercayaan, maka dengan sendirirnya “Tuhan” itu bersifat konsepsional dan bukan Tuhan pada diri-Nya atau Tuhan itu sendiri sebagaimana adanya (God as God as such).
 Menurut Ibn ‘Arabi, Tuhan pada diri-Nya adalah Tuhan yang tidak dapat diketahui (al-ilah al-majhul), yang transenden (al-ilah al-munazzah), yang tidak terikat dengan atribut atau identitas apapun. Dibahasakan secara lain, Ia adalah “yang tak pasti dari segala yang tak pasti”, “yang paling tidak diketahui dari semua yang tak diketahui” (ankar-al-nakirat). Dalam ke-Dia-an-Nya yang hakiki, kata Ibn ‘Arabi, Ia adalah “Misteri yang Absolut” (al-ghayb al-muthlaq) atau “Misteri yang Paling Suci” (al-ghayb al-aqdas). Dengan kata lain, Ia adalah “Negativitas” dalam bentuknya yang paling negatif.
Selanjutnya, Tuhan dalam wujudnya yang misteri itu ingin dikenal oleh makhluqnya. Oleh karena itu, ia menciptakan manusia. Manusia adalah makhluq yang diadakan atau diciptakan oleh Tuhan agar Ia dapat dikenal. Untuk dapat dikenal dan diketahui, Ia menyesuaikan keadaan dan kemampuan manusia. Dari kemampuan manusia yang berbeda-beda dalam mendefinisikan Tuhan melahirkan perdebatan yang panjang, yang sebetulnya semuanya didasarkan atas pemahaman terhadap teks kitab suci atau Al-Qur’an.
Sebetulnya, Tuhan yang diperdebatakan atau dibahas itu adalah Tuhan yang sudah mengambil bentuk  tertentu di dalam kitab suci dan realitas empiris, seperti disebut Maha Pencipta karena Ia adalah Yang Menciptakan alam semesta beserta isinya, dan di sebut Maha Kuasa karena Ia berkuasa atas segala sesuatu, dan lain-lain. Ini adalah yang dimaksud dengan bahwa Tuhan telah menyesuaikan atau mengambil bentuk tertentu agar bisa dikenal sesuai dengan kemampuan umat manusia.
Maka dari itu, menurut hemat penulis yang tentu saja sangat terbuka untuk dikritisi dan di diskusikan bersama, bahwa harus dibedakan antara Tuhan dengan pengetahuan tentang Tuhan. Tuhan itu adalah transenden dan tidak terbatasi oleh apapun. Apabila Tuhan itu dikonsepsikan atau dirumuskan oleh akal manusia yang serba terbatas, berarti Tuhan telah terbatasi oleh akal manusia, sedangkan Tuhan adalah Ia yang tidak terbatasi oleh apapun. Jadi, apabila ada seorang yang merumuskan tentang Tuhan, maka ia sedang merumuskan sesuatu yang tidak terumuskan dan sedang membatasi sesuatu yang tidak terbatasi oleh apapun. Kebingungan Nabi Ibrahim dalam mencari pengetahuan tentang Tuhan dapat dijadikan representatif dari apa yang dsiebut dengan al-ilah al-majhul (Tuhan yang tidak dapat diketahui), Tuhan yang tak terpikirkan, dan Tuhan yang tak terumuskan.
Sedangkan pengetahuan tentang Tuhan adalah Tuhan yang sudah mengambil bentuk tertentu dan dapat dirumuskan oleh akal manusia. Dengan kata lain, Tuhan yang sudah dikonsepsikan, didefinisikan, dan dirumuskan itu adalah Ia yang sudah mengambil bentuk tertentu sehingga manusia dapat mengenal dan mengetahui-Nya.


2 Juli 2013

Puisi Bulan Juni





--Tahun 2010
Suasana kampus bagi mahasiswa baru
Tak hanya aku begitu juga yang lain dariku
Latar belakang yang berbeda sungguh seperti Jogja –Istimewa
Menuntut ilmu di kampus ibu kota – Jakarta
               
Mungkin aku salah satu dari ribuan mahasiswa yang jumpa keglobalan
            Suka mencari informasi, ilmu pengetahuan dan jaringan sebagai jalan
            Tak jarang berdialog, debat di forum diskusi yang ku jajal
            Ini bukan sifat yang takut gagal atau terganjal

21 Juni 2013

Kepada Yth.                                                                                                                 
Pemimpin Indonesia Bung Karno                                                                                                  
Di tempat

Bangsa Indonesia di muka bumi, dari abad ke abad, dari era ke era, serta dari periode ke periode kehidupannya, telah ratusan kali –entah berapa persisnya-- memperingati kelahiran Bung Karno, yang mereka junjung tinggi dan mereka dekap intim dalam hati karena kemuliaannya.

Setiap masyarakat bangsa Indonesia, setiap kelompok, serta setiap orang  mengagung-agungkanmu ratusan ribu kali. Bung Karno tidak menjadi lapuk oleh panas hujan segala zaman hingga reformasi. Bung Karno dipelihara  namanya di zaman orang bertani, serta di zaman modern ketika kekuatan alat informasi dan komunikasi dijadikan “dewa”.

Tak Ada Matinya
Bung Karno senantiasa hadir kembali, senantiasa lahir dan lahir kembali: memunculkan dirinya dalam setiap konteks pemikiran, manifestasi peradaban dan kebudayaan, serta dalam setiap produk dan ungkapan kemajuan.

Bung Karno tidak pernah mati, kecuali darah daging dan tulang belulangnya yang telah menunggal dengan tanah. Bung Karno yang abadi, yang mengabadi, atau yang menjadi keabadian, dan hari demi hari melintasi di kehidupan kita.

Ah, Bung Karno, Bung Karno. Betapa kami mencintaimu. Betapa hidupmu bertaburan emas permata kemilauan, sehingga luapan cinta kami tak bisa dibendung oleh apa pun.
Aku sangat berterimakasih, sekali

16 Mei 2013

Konsep Kebaikan Mu'tazilah dalam Qaryah Thayyibah

Soleman Siregar*

Dari landasan epistemologis tentang kebaikan dan keburukan, ada dua pengertian terhadapnya. Pertama, kebaikan dan keburukan hanya dapat diketahui oleh wahyu. Pengertian ini terdapat pada teologi Asy’ariah. Kedua, kebaikan dan keburukan bisa diketahui oleh akal manusia tanpa adanya wahyu. Dan pengertian ini diadopsi oleh teologi rasional Mu’tazilah.

Pada pengertian yang pertama, kebaikan dan keburukan seseorang hanya dapat diketahui dengan agama (wahyu). Pada ukuran seperti ini, agama dipahami sebagai bimbingan formal dalam mengajarkan umat manusia kepada jalan kebaikan. Jalan kebaikan ini dilaksanakan atau dituju dari pengetahuan tentang pesan-pesan Tuhan. Dalam realitas-empiris, nabi atau utusan Tuhan-lah yang menjadi manusia pertama dalam menyampaikan pesan-pesan Tuhan tersebut. Jadi, pada pengertian yang pertama ini kebaikan dan keburukan hanya dapat diketahui oleh wahyu Tuhan dan disampaikan kepada umat manusia melalui perantara nabi atau utusan Tuhan. Maka, kebaikan dan keburukan tidak bisa dipahami atau diketahui oleh manusia hanya dengan akalnya, melainkan harus dengan adanya wahyu. Dengan demikian, pada proporsi seperti ini, manusia seakan-akan hanya tunduk dan patuh pada agama.

4 April 2013

Wawancara Bersama Ustadz Farhat Bas



Khazanah Dakwah Islam: Hz.Sulaiman Hilmi Tunahan Memilih Kebenaran daripada Kehidupannya

Khazanah dakwah Islam sebenarnya telah lama mengalir tanpa halangan karena Indonesia sanagat terbuka dengan berbagai macam kepercayaan, budaya, paham, bahkan agama yang cukup berwarna sehingga nuansa plural pun tak bisa di pungkiri. Usaha yang dilakukan Sulaiman Hilmi Tunahan (sebagai ulama Turki) mendakwakan Islam mulai dari Turki menyebar ke Eropa khususnya Jerrman, Belanda, Austria dll. Itu semua karena murid-murid dari Sulaman Hilmi yang telah belajar kepada beliau terus melakukan dakwah tidak hanya di Turki akan tetapi di tugaskan untuk berdakwah keluar Turki. Dan inilah yang menjadikan murid-murid Sulaiman Hilmi berada di hampir seluruh dunia hingga saat ini. Bagaimankah hal tersebut bisa terjadi sungguh sebuah Kharamah yang luar biasa? Untuk mengetahui hal tersebut, Imam Hidayat dari Jurusan Ilmu Agama Islam berbincang-bincang dengan Ferhat Bas (Pengasuh Pondok Pesantren Sulaimaniyah, UICCI, Jakarta). Berikut petikannya.

            Apakah yang menjadi esensi atau inti dari dakwah yang ingin disampaikan oleh Ustadz Farhat? 
Pertama tentu yang kedatangan kami ke Indonesia tentu dalam tujuan dakwah Islamiyah khususnya apa yang kita pelajari di pesantren-persantren selama kita tinggal di Turki. Jadi apa yang ingin kita lakukan itu adalah mengajarkan akhlak al-karimah yakni akhlak Rasulullah saw. kepada masyarakat muslim Indonesia khususnya kepada generasi baru Islam untuk mencetak generasi berilmu dan bertaqwa.

Berangkat dari situlah saya ingin mengetahui beberapa hal, selama ini sudah banyak orang yang mengenal Sulaiman Hilmi Tunahan khususnya di Turki bahwa beliau sebagai ulama dan mursyid yang memiliki banyak murid dan pengaruh di dunia keislaman. Menurut Ustadz Farhat sebagai salah satu murid yang sedang berhidzmat/berdakwah di Indonesia, apa sajakah hal-hal yang patut diambil sebagai teladan dari beliau dan patut mendapat apresiasi?
Sulaiman Hilmi Tunahan beliau adalah seorang ulama bersar yang terkemuka di Turki, dimana beliau berusaha keras untuk mengajarkan Islam di Turki, dimana pada  zamannya itu memang dilarang pengajaran atau pendidikan agama di Turki dilarang karena Turki baru saja keluar dari perang dan sudah di sekulerkan. Dalam keadaan yang susah payah beliau berusaha mengajarkan akhlak al-karimah dan pendidikan keagamaan kepada masyarakat muslim walaupun secara pemerintahan tidak boleh atau dilarang pendidikan agama Islam di Turki, beliau boleh dikatakan mengalami tantangan yang luar biasa sebagaiman Rasulullah saw. pada zamannya sudah mengalami tantangan yang sangat besar dalam menegakan agama Islam, maka itu kami percaya Sulaiman Hilmi Tunahan sebagai da’i yakni seorang ahli dakwah yang mendapat tantangan luar biasa dan beliau tidak pernah patah semangat dan beliau itu tidak pernah mengkomersilkan pendidikan agama itu. Melainkan beliau yang membantu kepada mereka yang mau belajar agama Islam dia mengambil dari uangnya sendiri, uang keluarganya. Maka itu sebagai contoh suriteladan buat kita beliau patut perlu kita contoh apa yang kita lihat dalam dakwah Islamiyah yang beliau lakukan selama beliau hidup. Maka itu dakwah yang mulai dari nol dari satu sekarang lahir ribuan pesantren yang tersebar di seluruh dunia, itu salah satu dihasilkan selama beliau hidup untuk dakwah Islam.

Apakah ada gambaran sebelumnya (dakwah beliau sampai ke Indonesia)! Yang pernah disampaikan oleh Sulaiman Hilmi Tunahan yang memang pada awalnya beliau dakwah di Turki, lalu ke Eropa, Afrika, dan sekarang nyatannya sekarang ada di Indonesia?
Dalam kehidupan beliau adalah seorang ulama yang memiliki pandangan yang sangat luar biasa melihat perkembangan zaman, bukan hanya di Turki, di Eropa, di Afrika, di Asia, bahkan dimanapun. Beliau memang memiliki tujuan yang sangat luar biasa itu beliau ingin meng-irsyad-kan umat manusia dimanapun mereka berada, dan  beliau pernah menyampaikan bahwa: “Akan ada waktu dimana murid-muridku dari Singapore, dari  Indonesia”. Beliau bermimpi bahwa akan ada santri-santri yang akan datang dan belajar di pesantren-pesantren yang nantinya menjadi murid-murid beliau, maka dari itu kita menganggap bahwa itu adalah salah satu kharamah yang sudah beliau tunjukan kepada murid-muridnya sekaligus memberikan pandangan dan harapan bahwa kita harus memiliki pesantren bukan hanya di Turki melainkan di seluruh dunia termasuk di Indonesia, Singapore, dan Eropa seperti itu, dan itu sudah tebukti dengan ratusan negara yang merupakan cabang-cabang kita disana.

Sebagai murid Sulaiman Hilmi Tunahan yang memang belajar Agama Islam di Turki yang secara pemerintahan Sekuler bagaimana perasaan Ustadz Farhat, ketika bisa berdakwah di Indonesia. Apakah ada hal-hal yang mendorong Ustadz Farhat untuk datang ke Indonesia dan tentunya berdakwah disini ?
Apa yang kita pelajari di Turki itu ya pada awalnya memang, secara pemerintahan sekuler kami merasakan kesulitan karena agak tersembunyi namun, dengan perubahan waktu pesantren-pesantren kita merupan pesantren yang legal dan diterima oleh masyarakat, maka dari itu tantangan itu pun sudah hilang dengan sendirinya. Sehingga kondisi dan fasilitas yang kami peroleh di pesantren kita di Turki sangat luar biasa, dan artinya setiap santri berharap dan memiliki harapan bahwa semua bisa belajar disitu, maka itu saya merasa bangga dan sekaligus beruntung bisa belajar di pesantren tersebut di Turki. Dan kedatangan kami kesinipun bukan karena saya ingin atau memiliki keinginan mengajar di Indonesia, melainkan apa yang kita pelajari di pesantren sebelumnya harus kita ajarkan dan membuka pesantren-pesantren. Karena ini adalah sebuah organisasi Internasional, dan ini adalah tugas saya di Indonesia. Dengan  tugas itu saya mengaggap bahwa menjadikan suatu hikmah dan pandangan hidup saya selamanya untuk berdakwah di indonesia seperti itu.

Bagaiman perasaan Ustadz farhat, apakah ada suasana yang berbeda ketika Ustadz Farhat belajar di Turki dan mengajarkannya di Indonesia?
Apa yang saya pelajari di Turki dan apa yang saya ajarkan di Indonesia, tidak jauh beda karena sama-sama orang muslim dan memang sama ramah tamah, dan juga memiliki semngat yang sama untuk belajar, maka dari itu saya tidak begitu mendapat tantangan kecuali bahasanya yang berbeda. Namun itupun karena kami pelajari maka tidak muncul tantangan yang berarti buat kami. Dan kami merasa beruntung bisa mengajar di Indonesia, kaerna santri kita di Indonesia mereka memiliki kualitas dan semangat yang sanagt luar biasa. Itulah keunggulan Indonesia menurut saya.

Disamping sebagai seorang ulama Hz. Ustadz juga dikenal sebagai Mursyid tharikat Naqsabandi. Yang juga dalam tharikat ini mengajarkan nilai keislaman dan akhlak Rasulullah. Dalam posisi beliau sebagai mursyid apa sebenarnya yang ingin beliau perjuangkan?
Kalua dilihat perbedaan dari segi tharikat atau apa yang diperjuangkan oleh beliau, sebenarnya beliau bukan memperjuangkan tharikat itu tapi beliau memperjuangkan cara pandang kehidupan yang sesuai dengan hakikat Islam. Maka dari itu kedatangna kami disini itu adalah mencerdaskan bangsa mencerdaskan masyarakat muslim diseluruh dunia, bagaimana caranya? Ya, tharikat itu adalah salah satu cara untuk menjaga atau membuat kualitas masyarakat muslim itu jauh lebih baik. Jadi thariakat itu hanyalah perantara atau sebuah wasilah yang kita pakai untuk membuat santri kita menjadi lebih, berakhlak, dan juag lebih bertanggungjawab seperti itu. Jadi dari segi tharikat tidak ada perbedaan karena kalau kita ketahui dasar-dasar hakikatnya itu adalah satu yang baik.

Jadi sebagaiman yang tadi telah disampaikan bahwa Tharikat itu sebagai alat?
Tharikat itu bukan tujuan utama tetapi, itu adalah sebuah wasilah untuk membuat murid kita bertanggung jawab, murid kita berakhlak al-karimah.

Jika melihat konteks Keindonesiaan dakwah ini atau yang di gagas oleh Sulaiman Hilmi Tunahan ini akan di arahkan kemana, karena di Indonesia sendiri sudah banyak Organisasi atau Pesantren yang juga berdakwah dan memperjuangkan Islam, dan apa pendapat Ustadz Farhat sendiri?
Maksudnya di Indonesia sudah banyak pesantren kenapa buat pesantren lagi. Ini adalah khazanah Islam jadi boleh saja organisasi muslim Indonesia yang berdakwah di Turki dan boleh saja organisasi muslim Turki yang berdakwah di Indonesia ataupun dimanalah. Karena ini adalah kekayaan Islam, Khazanah Islam, Peradaban Islam kita, maka itu bukan memiliki kekhususan tersendiri melainkan ini adalah kualitas. Kita ketahuai Ihtilaf al-Ummati ar-Rahmah. Dan itu adalah sebuah rahmat yang luas dalam konteks ini memang menurut kami, kami memiliki keunggulan-keunggulan. Seperti, lulusan kita (1) mereka sudah hafidz al-Quran dimana mereka sudah bisa menghafal al-Quran dalam waktu yang cukup singkat. Dan rata di Indonesia memang tidak bisa seperti apa yang ada disini yakni sampai pada peringkat tersebut dan ini adalah kualitas dan kekhususan kami. (2) Kita pun sudah mendapat pengakuan dari berbagai pihak dari berbagai pesantren bahwa santri pada umumnya santri setelah mereka lulus mereka belum tentu mau uantuk menjadi Ustadz, mereka belum tentu mau berdakwah, sementara hasil usaha kami santri kami itu hampir 80%, 90% semuanya itu adalah mau menjadi ahli dakwa, mau jadi Ustadz, dan itu menunjukan bahwa ini adalah pabrik Ustadz. Boleh kita katakan seperti itu.

Apa sebenarnya yang menjadi paradigma dasar mendakwahkan Islam di Indonesia padahal di Indonesia sendiri sudah banyak pesantren-pesantren juga organisasi masa yang juga memperjuangkan dakwah Islam?
Apa yang kami berikan kepada para santri itu memang sudah sesuai dengan apa yang ada Indonesia. Yang sesuai dengan Kementrian Agama Indonesia khususnya. Maka dari itu kami merasa sudah tepat, sehingga kami pun diterima dengan baik oleh kalangan masyarakat muslim di Indonesia. Kami tidak memandang mau itu organisasi Muhammadiyah, mau NU atau organisasi Islam yang lainnya. Karena menurut kami itu apa yang sesuai dengan pemerintahan Indonesia yaitu melalui Kementrian Agama Indonesia. Waktu itu kami langsung mengadakan kerjasama dengan mereka dan merekapun sudah melihat dan mengecek kebenaran kami, maka dari itu, baik dari segi paham, madzahab Ustadz disini walaupun awalnya bermadzhab Hanafi namun dengan kedatangan Ustadz kita yang memang orang Indonesia otomatis dengan sendirinya Ustadz-ustadznya sudah bermadzhab Syafi’i. Maka dari itu saya kira dari segi berbedaan pandangan, paham, Alhamdulillah kami tidak memiliki perbedaan yang manjadi masalah.

Dan apa sebenarnya yang menjadi hambatan dan peluang hidzmat/dakwah ini di Indonesia serta apa yang seharusnya dilakukan kedepannya?
Hambatan tentu pernah terjadi, pertama karena kami orang asing jadi, kami dikira mau mengajarkan paham-paham yang radikal atau apapun. Apalagi kita menberikan beasiswa ke Turki maka mereka menganggap juga anak-anak yang kami kirim itu akan menjadi teroris, Ahamdulillah sejalan dengan telah lulusnya 50 orang sudah menyelesaikan belajarnya di Turki dimana mereka tidak pernah berurusan dengan terorisme. Ini menjadi bukti kuat bahwa tujuan kita tujuan memciptakan murid yang baik dan berakhlak al-karimah dan berkualitas. Pastinya hambatan 8 tahun yang lalu telah terselesaikan dan kemungkinan akan berjalan lebih baik kedepannya. Akan tetapi hambatan mengenai dana, karena dimana ketika permintaan masyarakat sangat tinggi dan banyak sekali yang cukup bersemangat untuk belajar tetapi dana kami sangat kurang. Karena itu kami berharap masyarakat Indonesia yang mampu, mau membayarkan zakat infaq dan shadaqahnya kepada kami. Jadi sebenarnya hambatan ketika banyak yang ingin belajar tetapi mereka tidak diterima bukan merupak masalah yang sebenarnya, yang sebenarnya menjadi masalah adalah sudah tidak cukup kuotanya.

Sebagai penutup sebenarnya nilai apa yang menjadi tujuan dan selalu menjadi semangat khususnya Ustadz Farhat untuk terus berdakwah melanjutkan perjuangan Sulaiman Hilmi Tunahan. Mungkin kalau saya coba simpulkan apa sebenarnya visi misi dari Ustadz Farhat Sendiri begitu?
Saya datang ke Indonesia karena ditugaskan jadi Visi dan Misi saya sesuai sengan organisasi selama 8 tahun bertugas disini apa yang menjadi motto kami itu adalah kami ingin membentuk generasi penghafal Al-Quran. Dan sekarang yang saya ingin bahwa apa yang telah saya ajarkan kepada murid-murid yang dahulu atau awal-awal saya bisa melihat dan mengkordinasikan sehingga dakwah yang ada saat ini makin berkembang.

20 Maret 2013

Tuhan Tidak Menciptakan Kita Satu (Sama)


Oleh Soleman Siregar

Selasa, 19 Maret 2013 merupakan waktu yang tidak terlupakan bagi forum cendekiaksi. Tiap detik, menit, jam, dan hari telah berjalan, maka pada waktu itu juga akan menjadi sejarah dan awal perjalanan forum cendekiAksi. Suatu bentuk yang akan menjadi sejarah itu adalah formalisasi dari acara launching forum cendekiAksi yang dilaksanakan di Ruang Serba Guna FIS UNJ oleh teman-teman Jurusan Ilmu Agama Islam. “Islam dalam Multi Perspektif: Merekatkan Persamaan dan Mengikis Perbedaan”, itulah judul dari acara launching forum cendekiAksi yang sangat menarik untuk didiskusikan bersama, mengingat suatu realita bahwa umat itu beragam. Tuhan bisa saja menciptakan seluruh umat manusia satu, tapi kenyataannya adalah tidak, melainkan sangat beragam dan penuh perbedaan.

Ajaran Islam dalam perkembangannya sangat beragam dan multi perspektif, begitulah kira-kira makna yang bisa ditangkap dari pesan-pesan yang disampaikan oleh Abd Moqsith Ghazali selaku pembicara pada acara launching forum cendekiAksi. Seperti yang diketahui bahwa berbicara Islam, maka berbicara Al-Qur’an dan Al-Hadis. Suatu fakta bahwa dalam perkembangannya terdapat ajaran-ajaran Islam seperti tafsir, fiqih, teologi, tasawuf, dan lain sebagainya. Ajaran-ajaran Islam ini ada karena keharusan atau implikasi wajib dari pemahaman Al-Qur’an dan Al-Hadis.

Maka dari itu, dalam perkembangannya juga ada Islam konservatif, seperti model Wahhabi, NII, dan HTI. Ada juga Islam tengah, seperti kaum sunni, atau Islam yang ada dikalangan pesantren. Sampai kepada Islam progresif, seperti Islam Liberal, NU, dan sebagainya. Setiap dari model-model keislaman yang ada masing-masing mempunyai jalur standar dari suatu kebenaran tertentu yang diyakininya. Hal yang sulit untuk dicegah adalah apabila ada suatu kelompok Islam tertentu dengan mengatasnamakan keyakinan atau kebenarannya mereka melakukan tindakan anarkis, seperti melakukan pemboman, pembantaian terhadap kelompok Islam yang lain (kasus Ahamadiyah atau Syiah), tindakan kekerasan, dan sebagainya. Mereka melakukan itu semua dalam rangka ingin mensucikan umat. Apabila sudah tertanam niat seperti itu, maka sangat sulit untuk mencegahnya. Karena biar bagaimanapun itu adalah bentuk suatu keyakinan yang tentu saja tidak bisa dipaksakan untuk merubahnya.

Untuk itu, keberagaman Islam pun harus dibatasi. Hal yang sekiranya tepat untuk membatasi keberagaman itu adalah dengan etika kemanusiaan. Artinya, dalam konteks penerapan suatu keyakinan, tindakan apapun yang dilakukan oleh setiap umat Muslim bisa dibenarkan menurut pendiriannya, termasuk bentuk kekerasan. Tetapi, dalam konteks etika kemanusiaan perbuatan atau tindakan seperti kekerasan yang mengatasnamakan agama itu jelas-jelas harus disalahkan dan ditindaklanjuti sebagai suatu hukuman. Karena, agama itu suci, dan sesuatu yang suci itu tidak mungkin mengajarkan bentuk kekerasan, perpecahan umat, dan sebagainya. Tuhan adalah wujud transendental-suci yang sangat mustahil bagi-Nya bisa memerintahkan suatu bentuk kejahatan atau kekerasan yang berlawanan dengan etika kemanusiaan.

Dengan demikian, keberagaman yang merupakan hukum alam (sunnatullah), adalah sesuatu yang harus disyukuri sebagai rahmat. Maka segala bentuk ajaran Islam haruslah yang dapat menghasilkan rahmat. Disebut sebagai rahmat apabila didalamnya terdapat kebaikan. Islam menghendaki kebaikan bagi umatnya, maka secara substansi setiap ajaran Islam adalah ajaran yang mengandung kebaikan. Dengan kata lain, keberagaman model Islam bisa diterima, apabila didalamnya mengandung kebaikan, persaudaraan, dan perdamaian.[]