Soleman Siregar*
Dari landasan epistemologis tentang kebaikan
dan keburukan, ada dua pengertian terhadapnya. Pertama, kebaikan dan
keburukan hanya dapat diketahui oleh wahyu. Pengertian ini terdapat pada
teologi Asy’ariah. Kedua, kebaikan dan keburukan bisa diketahui oleh
akal manusia tanpa adanya wahyu. Dan pengertian ini diadopsi oleh teologi
rasional Mu’tazilah.
Pada pengertian yang pertama, kebaikan dan
keburukan seseorang hanya dapat diketahui dengan agama (wahyu). Pada ukuran
seperti ini, agama dipahami sebagai bimbingan formal dalam mengajarkan umat
manusia kepada jalan kebaikan. Jalan kebaikan ini dilaksanakan atau dituju dari
pengetahuan tentang pesan-pesan Tuhan. Dalam realitas-empiris, nabi atau utusan
Tuhan-lah yang menjadi manusia pertama dalam menyampaikan pesan-pesan Tuhan
tersebut. Jadi, pada pengertian yang pertama ini kebaikan dan keburukan hanya
dapat diketahui oleh wahyu Tuhan dan disampaikan kepada umat manusia melalui
perantara nabi atau utusan Tuhan. Maka, kebaikan dan keburukan tidak bisa
dipahami atau diketahui oleh manusia hanya dengan akalnya, melainkan harus
dengan adanya wahyu. Dengan demikian, pada proporsi seperti ini, manusia
seakan-akan hanya tunduk dan patuh pada agama.
Konsep Kebaikan Mu'tazilah dalam Qaryah Thayyibah