16 Mei 2013

Konsep Kebaikan Mu'tazilah dalam Qaryah Thayyibah

Soleman Siregar*

Dari landasan epistemologis tentang kebaikan dan keburukan, ada dua pengertian terhadapnya. Pertama, kebaikan dan keburukan hanya dapat diketahui oleh wahyu. Pengertian ini terdapat pada teologi Asy’ariah. Kedua, kebaikan dan keburukan bisa diketahui oleh akal manusia tanpa adanya wahyu. Dan pengertian ini diadopsi oleh teologi rasional Mu’tazilah.

Pada pengertian yang pertama, kebaikan dan keburukan seseorang hanya dapat diketahui dengan agama (wahyu). Pada ukuran seperti ini, agama dipahami sebagai bimbingan formal dalam mengajarkan umat manusia kepada jalan kebaikan. Jalan kebaikan ini dilaksanakan atau dituju dari pengetahuan tentang pesan-pesan Tuhan. Dalam realitas-empiris, nabi atau utusan Tuhan-lah yang menjadi manusia pertama dalam menyampaikan pesan-pesan Tuhan tersebut. Jadi, pada pengertian yang pertama ini kebaikan dan keburukan hanya dapat diketahui oleh wahyu Tuhan dan disampaikan kepada umat manusia melalui perantara nabi atau utusan Tuhan. Maka, kebaikan dan keburukan tidak bisa dipahami atau diketahui oleh manusia hanya dengan akalnya, melainkan harus dengan adanya wahyu. Dengan demikian, pada proporsi seperti ini, manusia seakan-akan hanya tunduk dan patuh pada agama.


Kemudian pada pengertian yang kedua, kebaikan dan keburukan dapat diketahui oleh akal manusia tanpa bimbingan wahyu sekalipun. Hal ini didasarkan pada fitrah manusia  terhadap kebaikan, bahwa manusia diciptakan Tuhan sejak lahir sudah membawa fitrah kebaikan (Tuhan). Proses pencarian Nabi Ibrahim dalam menemukan siapa Tuhannya adalah salah satu bukti bahwa akal manusia dapat mengetahui Tuhan (kebaikan) hanya dengan nalar pikiran manusia tanpa adanya bimbingan wahyu. Dengan demikian, pada proporsi seperti ini, akal memainkan peran yang sangat penting dalam memahami hakikat agama serta sering memberikan nalar kritis terhadap agama.

Pada pengertian terakhir ini, penulis merasa perlu suatu pembuktian empiris. Apakah benar pengertian epistemologis tentang kebaikan dan keburukan dapat diketahui hanya dengan akal manusia tanpa bimbingan wahyu? Tentu saja kisah nabi Ibrahim dalam mencari Tuhannya tidak cukup dijadikan sandaran representatif tentang kebenaran pengertian kebaikan dan keburukan ala Mu’tazilah. Begitupun, pengalaman penulis yang akan disampaikan berikut ini tidak begitu cukup representatif dalam menilai konsep atau gagasan Mu’tazailah ini. Tulisan dibawah ini hanya sekedar refleksi atas pengalaman penulis saat berada di sekolah Qaryah Thayyibah yang terbuka untuk dikritisi dan didiskusikan bersama.

Qaryah Thayyibah (selanjutnya disebut QT) adalah sekolah yang didalamnya terdiri dari beberapa murid, di mana masing-masing murid ini dapat mencurahkan potensi yang disenanginya. Mereka diberikan kemerdekaan atau kebebasan dalam belajar. Sekolah yang terletak di Kel. Kalibening Kec. Tingkir Kota Salatiga Jawa Tengah ini berbeda dengan sekolah-sekolah lainnya. Apabila pada umumnya sekolah itu lebih mengenalkan  bentuk formalnya, seperti ada kurikulum tertentu, dan menetapkan aturan-aturan yang cenderung menutup kebebasan siswa, seperti seragam sekolah, waktu belajar, absen, dan sebagainya. Hal ini berbeda dengan sekolah QT yang tidak begitu memperhatikan formalitas dari suasana belajar. Sekolah ini memberikan kebebasan kepada murid untuk mengekspresikan gaya belajar atau pelajaran yang disenanginya.

Sekolah yang didrikan oleh Pak Burhanudin ini telah membuktikan bahwa konsep kebebasan dalam belajar adalah salah satu solusi dalam menangani masalah pendidikan saat ini. Konsep kebebasan itu dikatakan tidak menyimpang adalah apabila seseorang melakukan perbuatan atau tindakan tertentu yang tidak mencederai atau mengganggu kebebasan orang lain. Sebagai contoh atas keberhasilan konsep kebebasan ini adalah salah satu murid disana yang bernama Fina telah membuat 20 novel lebih. Bayangkan, seorang yang tidak pernah belajar formal tentang tulis-menulis novel, tetapi mampu menulis novel dan tidak kalah dengan murid yang belajar di sekolah formal tertentu. Begitu pula dengan kebaikan dan keburukan juga dapat diketahui dengan akal manusia tanpa adanya bentuk agama formal (wahyu).

Dalam kaitannya dengan pengujian terhadap konsep kebaikan dan keburukan menurut teologi Mu’tazilah adalah para murid di sekolah QT itu tanpa mendalami ilmu agama secara intensif bisa mengatahui mana yang baik dan mana yang buruk bagi dirinya sendiri melalui akal pikirannya. Mereka sangat bebas dalam melakukan tindakan apapun, dan dengan kebebasan itu tidak menutup mereka untuk berkarya, justru karena kebebasan itu mereka bisa berkarya dan mengatahui kebaikan tanpa proses bimbingan dari guru atau agama. Sebagai contoh yang telah dikemukakan di atas, adalah Fina salah satu murid disana sudah menghasilkan 20 novel lebih. Jadi, bisa dibutikan bahwa fitrah kebaikan pada manusia memang sudah ada sejak lahir. Artinya, manusia pada hakikatnya bisa berkarya melalui naluri bakat yang dimiliknya dan dapat mengatahui kebaikan dan keburukan tanpa wahyu, nabi, atau agama sekalipun. Fitrah kebaikan itulah yang mendorong manusia mengetahui mana yang baik dan buruk bagi dirinya dan orang lain. 

Dalam sekolah Qaryah Thayyibah ini telah berani menampilkan diri sebagai lembaga penerus aliran Mu’tazilah. Konsep kebebasan yang diciptakan pada sekolah QT tersebut dapat menyadarkan bahwa manusia pada hakikatnya adalah baik dan dapat berkarya sesuai dengan bakat atau potensi yang dimilikinya. []

*Mahasiswa Ilmu Agama Islam Angk. 2010, Universitas Negeri Jakarta.

0 komentar: