Soleman Siregar*
Dari landasan epistemologis tentang kebaikan
dan keburukan, ada dua pengertian terhadapnya. Pertama, kebaikan dan
keburukan hanya dapat diketahui oleh wahyu. Pengertian ini terdapat pada
teologi Asy’ariah. Kedua, kebaikan dan keburukan bisa diketahui oleh
akal manusia tanpa adanya wahyu. Dan pengertian ini diadopsi oleh teologi
rasional Mu’tazilah.
Pada pengertian yang pertama, kebaikan dan
keburukan seseorang hanya dapat diketahui dengan agama (wahyu). Pada ukuran
seperti ini, agama dipahami sebagai bimbingan formal dalam mengajarkan umat
manusia kepada jalan kebaikan. Jalan kebaikan ini dilaksanakan atau dituju dari
pengetahuan tentang pesan-pesan Tuhan. Dalam realitas-empiris, nabi atau utusan
Tuhan-lah yang menjadi manusia pertama dalam menyampaikan pesan-pesan Tuhan
tersebut. Jadi, pada pengertian yang pertama ini kebaikan dan keburukan hanya
dapat diketahui oleh wahyu Tuhan dan disampaikan kepada umat manusia melalui
perantara nabi atau utusan Tuhan. Maka, kebaikan dan keburukan tidak bisa
dipahami atau diketahui oleh manusia hanya dengan akalnya, melainkan harus
dengan adanya wahyu. Dengan demikian, pada proporsi seperti ini, manusia
seakan-akan hanya tunduk dan patuh pada agama.
Kemudian pada pengertian yang kedua, kebaikan
dan keburukan dapat diketahui oleh akal manusia tanpa bimbingan wahyu
sekalipun. Hal ini didasarkan pada fitrah manusia terhadap kebaikan, bahwa manusia diciptakan
Tuhan sejak lahir sudah membawa fitrah kebaikan (Tuhan). Proses pencarian Nabi
Ibrahim dalam menemukan siapa Tuhannya adalah salah satu bukti bahwa akal
manusia dapat mengetahui Tuhan (kebaikan) hanya dengan nalar pikiran manusia
tanpa adanya bimbingan wahyu. Dengan demikian, pada proporsi seperti ini, akal
memainkan peran yang sangat penting dalam memahami hakikat agama serta sering
memberikan nalar kritis terhadap agama.
Pada pengertian terakhir ini, penulis merasa
perlu suatu pembuktian empiris. Apakah benar pengertian epistemologis tentang
kebaikan dan keburukan dapat diketahui hanya dengan akal manusia tanpa
bimbingan wahyu? Tentu saja kisah nabi Ibrahim dalam mencari Tuhannya tidak
cukup dijadikan sandaran representatif tentang kebenaran pengertian kebaikan
dan keburukan ala Mu’tazilah. Begitupun, pengalaman penulis yang akan
disampaikan berikut ini tidak begitu cukup representatif dalam menilai konsep
atau gagasan Mu’tazailah ini. Tulisan dibawah ini hanya sekedar refleksi atas pengalaman
penulis saat berada di sekolah Qaryah Thayyibah yang terbuka untuk dikritisi
dan didiskusikan bersama.
Qaryah Thayyibah (selanjutnya disebut QT)
adalah sekolah yang didalamnya terdiri dari beberapa murid, di mana
masing-masing murid ini dapat mencurahkan potensi yang disenanginya. Mereka
diberikan kemerdekaan atau kebebasan dalam belajar. Sekolah yang terletak di
Kel. Kalibening Kec. Tingkir Kota Salatiga Jawa Tengah ini berbeda dengan
sekolah-sekolah lainnya. Apabila pada umumnya sekolah itu lebih mengenalkan bentuk formalnya, seperti ada kurikulum
tertentu, dan menetapkan aturan-aturan yang cenderung menutup kebebasan siswa,
seperti seragam sekolah, waktu belajar, absen, dan sebagainya. Hal ini berbeda
dengan sekolah QT yang tidak begitu memperhatikan formalitas dari suasana
belajar. Sekolah ini memberikan kebebasan kepada murid untuk mengekspresikan
gaya belajar atau pelajaran yang disenanginya.
Sekolah yang didrikan oleh Pak Burhanudin ini
telah membuktikan bahwa konsep kebebasan dalam belajar adalah salah satu solusi
dalam menangani masalah pendidikan saat ini. Konsep kebebasan itu dikatakan
tidak menyimpang adalah apabila seseorang melakukan perbuatan atau tindakan
tertentu yang tidak mencederai atau mengganggu kebebasan orang lain. Sebagai
contoh atas keberhasilan konsep kebebasan ini adalah salah satu murid disana
yang bernama Fina telah membuat 20 novel lebih. Bayangkan, seorang yang tidak
pernah belajar formal tentang tulis-menulis novel, tetapi mampu menulis novel
dan tidak kalah dengan murid yang belajar di sekolah formal tertentu. Begitu
pula dengan kebaikan dan keburukan juga dapat diketahui dengan akal manusia
tanpa adanya bentuk agama formal (wahyu).
Dalam kaitannya dengan pengujian terhadap
konsep kebaikan dan keburukan menurut teologi Mu’tazilah adalah para murid di
sekolah QT itu tanpa mendalami ilmu agama secara intensif bisa mengatahui mana
yang baik dan mana yang buruk bagi dirinya sendiri melalui akal pikirannya.
Mereka sangat bebas dalam melakukan tindakan apapun, dan dengan kebebasan itu
tidak menutup mereka untuk berkarya, justru karena kebebasan itu mereka bisa
berkarya dan mengatahui kebaikan tanpa proses bimbingan dari guru atau agama. Sebagai
contoh yang telah dikemukakan di atas, adalah Fina salah satu murid disana
sudah menghasilkan 20 novel lebih. Jadi, bisa dibutikan bahwa fitrah kebaikan
pada manusia memang sudah ada sejak lahir. Artinya, manusia pada hakikatnya
bisa berkarya melalui naluri bakat yang dimiliknya dan dapat mengatahui kebaikan
dan keburukan tanpa wahyu, nabi, atau agama sekalipun. Fitrah kebaikan itulah
yang mendorong manusia mengetahui mana yang baik dan buruk bagi dirinya dan
orang lain.
Dalam sekolah Qaryah Thayyibah ini telah
berani menampilkan diri sebagai lembaga penerus aliran Mu’tazilah. Konsep
kebebasan yang diciptakan pada sekolah QT tersebut dapat menyadarkan bahwa
manusia pada hakikatnya adalah baik dan dapat berkarya sesuai dengan bakat atau
potensi yang dimilikinya. []
*Mahasiswa Ilmu Agama Islam Angk. 2010, Universitas Negeri Jakarta.
Konsep Kebaikan Mu'tazilah dalam Qaryah Thayyibah