20 Maret 2013

Tuhan Tidak Menciptakan Kita Satu (Sama)


Oleh Soleman Siregar

Selasa, 19 Maret 2013 merupakan waktu yang tidak terlupakan bagi forum cendekiaksi. Tiap detik, menit, jam, dan hari telah berjalan, maka pada waktu itu juga akan menjadi sejarah dan awal perjalanan forum cendekiAksi. Suatu bentuk yang akan menjadi sejarah itu adalah formalisasi dari acara launching forum cendekiAksi yang dilaksanakan di Ruang Serba Guna FIS UNJ oleh teman-teman Jurusan Ilmu Agama Islam. “Islam dalam Multi Perspektif: Merekatkan Persamaan dan Mengikis Perbedaan”, itulah judul dari acara launching forum cendekiAksi yang sangat menarik untuk didiskusikan bersama, mengingat suatu realita bahwa umat itu beragam. Tuhan bisa saja menciptakan seluruh umat manusia satu, tapi kenyataannya adalah tidak, melainkan sangat beragam dan penuh perbedaan.

Ajaran Islam dalam perkembangannya sangat beragam dan multi perspektif, begitulah kira-kira makna yang bisa ditangkap dari pesan-pesan yang disampaikan oleh Abd Moqsith Ghazali selaku pembicara pada acara launching forum cendekiAksi. Seperti yang diketahui bahwa berbicara Islam, maka berbicara Al-Qur’an dan Al-Hadis. Suatu fakta bahwa dalam perkembangannya terdapat ajaran-ajaran Islam seperti tafsir, fiqih, teologi, tasawuf, dan lain sebagainya. Ajaran-ajaran Islam ini ada karena keharusan atau implikasi wajib dari pemahaman Al-Qur’an dan Al-Hadis.

Maka dari itu, dalam perkembangannya juga ada Islam konservatif, seperti model Wahhabi, NII, dan HTI. Ada juga Islam tengah, seperti kaum sunni, atau Islam yang ada dikalangan pesantren. Sampai kepada Islam progresif, seperti Islam Liberal, NU, dan sebagainya. Setiap dari model-model keislaman yang ada masing-masing mempunyai jalur standar dari suatu kebenaran tertentu yang diyakininya. Hal yang sulit untuk dicegah adalah apabila ada suatu kelompok Islam tertentu dengan mengatasnamakan keyakinan atau kebenarannya mereka melakukan tindakan anarkis, seperti melakukan pemboman, pembantaian terhadap kelompok Islam yang lain (kasus Ahamadiyah atau Syiah), tindakan kekerasan, dan sebagainya. Mereka melakukan itu semua dalam rangka ingin mensucikan umat. Apabila sudah tertanam niat seperti itu, maka sangat sulit untuk mencegahnya. Karena biar bagaimanapun itu adalah bentuk suatu keyakinan yang tentu saja tidak bisa dipaksakan untuk merubahnya.

Untuk itu, keberagaman Islam pun harus dibatasi. Hal yang sekiranya tepat untuk membatasi keberagaman itu adalah dengan etika kemanusiaan. Artinya, dalam konteks penerapan suatu keyakinan, tindakan apapun yang dilakukan oleh setiap umat Muslim bisa dibenarkan menurut pendiriannya, termasuk bentuk kekerasan. Tetapi, dalam konteks etika kemanusiaan perbuatan atau tindakan seperti kekerasan yang mengatasnamakan agama itu jelas-jelas harus disalahkan dan ditindaklanjuti sebagai suatu hukuman. Karena, agama itu suci, dan sesuatu yang suci itu tidak mungkin mengajarkan bentuk kekerasan, perpecahan umat, dan sebagainya. Tuhan adalah wujud transendental-suci yang sangat mustahil bagi-Nya bisa memerintahkan suatu bentuk kejahatan atau kekerasan yang berlawanan dengan etika kemanusiaan.

Dengan demikian, keberagaman yang merupakan hukum alam (sunnatullah), adalah sesuatu yang harus disyukuri sebagai rahmat. Maka segala bentuk ajaran Islam haruslah yang dapat menghasilkan rahmat. Disebut sebagai rahmat apabila didalamnya terdapat kebaikan. Islam menghendaki kebaikan bagi umatnya, maka secara substansi setiap ajaran Islam adalah ajaran yang mengandung kebaikan. Dengan kata lain, keberagaman model Islam bisa diterima, apabila didalamnya mengandung kebaikan, persaudaraan, dan perdamaian.[]