12 Juli 2013

Tuhan Yang Tak Ter(rumus)kan

Oleh: Soleman Siregar
Sebagai asumsi dasar dari tulisan kecil-kecilan dibawah ini adalah bahwa Tuhan yang selama ini dipahami umat Islam pada umumnya adalah Tuhan yang sudah dikonsepsikan berdasarkan kitab suci. Sebuah ibrah (pelajaran) yang sebetulnya dapat dipetik tentang pencarian makna Tuhan adalah bisa dilihat dari kisah nabi Ibrahim berikut ini.
Nabi Ibrahim dalam mencari pemahaman tentang Tuhan belum dibingungkan oleh wahyu atau kitab suci. Dalam pencariannya itu, menurutnya matahari atau bulan adalah Tuhannya. Tetapi, dia berfikir bagaimana mungkin Tuhan itu adalah sesuatu yang bisa sewaktu-waktu muncul (terlihat) dan sewaktu-waktu tenggelam (tidak terlihat)? Ia terbingungkan dengan hal ini, tetapi kebingungannya itu tidak membuatnya putus asa dan terus mencari pengetahuan tentang Tuhan dengan akalnya. Pada sebuah kesimpulannya, ia berpendirian bahwa Tuhan itu adalah Yang Menciptakan kedua benda tersebut, yakni matahari dan bulan, beserta seluruh isi di dunia ini. Saya ingin mencoba menarik arti dari kisah di atas, bahwa Tuhan yang dipahami oleh Nabi Ibrahim secara eksoterik  adalah Tuhan Yang Maha Pencipta yang dipersepsikan atau dibentuk oleh Nabi Ibrahim sendiri. Tetapi, dilihat dari kebingungan Nabi Ibrahim dalam mencari pengetahuan tentang Tuhan, maka secara esoterik Tuhan yang dimaksud adalah Tuhan Yang Tidak Dapat Diketahui (al-ilah al-majhul).
Kisah Nabi Ibrahim di atas telah membuat umat Muslim merasa tertantang untuk dapat mengenal-Nya. Sehingga dalam perkembangannya banyak model atau rumus yang telah dibuat manusia mengenai konsep Ketuhanan. Pencarian model konsep atau rumus tentang Tuhan ini secara historis berdampak negatif, yakni pernah melahirkan perdebatan seputar konsep ketuhanan. Sebut saja misalnya dari aliran klasik Islam, yaitu Mu’tazilah vs Ahlus sunnah.
Salah satu yang menjadi perdebatan antara Mu’tazilah dan Ahlus Sunnah  adalah tentang sifat-sifat Tuhan. Menurut Mu’tazilah, Tuhan tidak mempunyai sifat. Tuhan dalam arti bahwa segala sesuatu yang disebut sifat Tuhan sebenarnya bukanlah sifat yang mempunyai wujud tersendiri diluar zat. Tetapi, sifat yang merupakan esensi Tuhan. Konsep yang demikian ini dikemukakan oleh Wasil Ibn ‘Ata (pendiri Mu’tazilah). Konsep ini kemudian dikembangkan oleh pemuka yang lain, yaitu Abu al-Huzail. Menurutnya, sifat Tuhan itu melekat di dalam zat Tuhan itu sendiri. Jadi, Tuhan Maha Mengetahui bukan dengan sifat-Nya tetapi mengetahui dengan pengetahuan-Nya, dan pengetahuan-Nya adalah zat-Nya. Demikianlah seterusnya dengan sifat-sifat lainnya. Tuhan Maha Kuasa dengan kekuasaan dan keuasaan-Nya adalah zat-Nya. Tuhan Mahabijaksana, dengan kebijaksanaan dan kebijakasanaan-Nya adalah zat-Nya. Nampaknya, Wasil dan Huzail dalam konsep ini mengindari pemahaman anthropomorphism yang apabila dalam istilah Arab disebut al-tajassum atau al-tasybih.
Konsep tentang Tuhan di atas ditentang oleh Ahlus Sunnah. Mustahil kata al-Asy’ari (pendiri Ahlus Sunnah/Mantan Mu’tazilah), Tuhan mengetahui dengan zat-Nya, karena dengan demikian zat-Nya adalah pengetahuan dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan. Tuhan bukan pengetahuan (‘ilm) tetapi Yang Mengetahui (‘Alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukanlah zat-Nya. Demikan dengan sifat lainnya, seperti berkuasa, mendengar, melihat, dan lain-lain. Artinya, persoalan seputar konsep atau rumus tentang Tuhan di antara keduanya telah melahirkan perdebatan yang sengit.
Kedua aliran di atas mempunyai definisi tersendiri tentang Tuhan tentu saja berdasarkan kitab suci mereka, yaitu Al-Qur’an. Karena pemahaman atas teks kitab suci itulah yang selama ini membuat umat Muslim ini berbeda-beda pemikiran dan pemahaman. Hal ini disebabkan karena adanya yang disebut dengan ambiugitas teks kitab suci. Menarik apabila melihat dampak dari ambiugitas teks kitab suci ini. Salah satunya adalah yang akhir-akhir ini sering terjadi kekerasan terhadap kaum non Muslim dengan mengatasnamakan agama dengan dukungan dari dalil Al-Qur’an, yaitu:
اللَّهِ ۚوَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ ۖتَرَاهُمْ
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir. . . .” (Q.S. 48:29).
Ayat di atas sering dijadikan landasan atas pembenaran melakukan tindakan diskriminatif oleh kaum Muslim terhadap kaum non Muslim. Padahal, ayat di atas tidak relevan dengan semangat zaman pada saat ini yang menginginkan perdamaian seluruh kalangan umat manusia dan juga bertentangan dengan dalil lainnya seperti dalil toleransi, kasih sayang, kebebasan beragama, dan lain-lain. Abdalla, seorang intelektual Islam asal Indonesia, mengatakan bahwa ayat di atas turun ketika kaum Muslim dengan orang-orang kafir pada waktu itu sedang berperang dan bermusuh-musuhan. Maka, wajar apabila bunyi teks ayat itu seperti menghalalkan kekerasan terhadap orang yang bukan Muslim.
Bahkan, menurut Jalaluddin Rahmat, ketua IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia), bahwa konsep kafir bukan menyangkut masalah teologi melainkan menyangkut etika. Artinya, apabila mengikuti konsep Kang Jalal itu (begitulah panggilan akrabnya), yang harus dikeraskan itu adalah orang-orang yang suka melakukan kejahatan, seperti korupsi, pembunuhan, dan lain-lain. Dan bukan keras terhadap kepada mereka yang hanya dilihat dari perbedaan keyakinan. Tentu saja konsep Kang Jalal itu terbuka untuk dikritisi. Dan mungkin sewaktu-waktu menarik untuk mengadakan seminar di ponpes Sulaimaniyah ini terkait dengan apa yang dimaksud dengan konsep kafir itu, untuk memancing nalar intelektual para santri disini sebagai calon ulama masa depan.
Kembali kepada soal ambiguitas teks kitab suci tadi. Seperti masalah pada ayat di atas tentang berlaku keras terhadap orang kafir yang ambigu maknanya, sama halnya juga dengan pembahasan tentang Tuhan di dalam teks kitab suci yang ambigu dalam maknanya. Banyak dari orang-orang mutakallimin yang mempunyai konsep tertentu tentang Tuhan yang di dasarkan atas penafsiran terhadap Al-Qur’an. Bahkan sering kali di dalam Al-Qur’an sendiri dijumpai ayat-ayat yang berlawanan satu sama lain.
Dalam hal ini, yang ingin saya katakan adalah bahwa Tuhan yang sekarang adalah Tuhan yang sudah terumuskan atau terdefinisikan oleh manusia yang mengatasnamakan teks kitab suci. Suatu kritik tajam terhadap kaum mutakallimin dari seorang sufi Andalusia bernama Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn al-‘arabi al-Ta’i al-Hatimi menurutnya Tuhan yang sekarang adalah Tuhan yang sudah terversikan (ada versi Mu’tazilah dan versi Ahlus Sunnah), “Tuhan kepercayaan” (ilah al-mu’taqad), “Tuhan dalam kepercayaan” (al-ilah fi al-i’tiqad), “Tuhan yang dipercayai” (al-ilah al-mu’taqad). “Tuhan” itu bukan Tuhan yang sebenarnya, melainkan  “Tuhan” yang menjadi Tuhan karena ia dipercayai. Karena lahir dari kepercayaan, maka dengan sendirirnya “Tuhan” itu bersifat konsepsional dan bukan Tuhan pada diri-Nya atau Tuhan itu sendiri sebagaimana adanya (God as God as such).
 Menurut Ibn ‘Arabi, Tuhan pada diri-Nya adalah Tuhan yang tidak dapat diketahui (al-ilah al-majhul), yang transenden (al-ilah al-munazzah), yang tidak terikat dengan atribut atau identitas apapun. Dibahasakan secara lain, Ia adalah “yang tak pasti dari segala yang tak pasti”, “yang paling tidak diketahui dari semua yang tak diketahui” (ankar-al-nakirat). Dalam ke-Dia-an-Nya yang hakiki, kata Ibn ‘Arabi, Ia adalah “Misteri yang Absolut” (al-ghayb al-muthlaq) atau “Misteri yang Paling Suci” (al-ghayb al-aqdas). Dengan kata lain, Ia adalah “Negativitas” dalam bentuknya yang paling negatif.
Selanjutnya, Tuhan dalam wujudnya yang misteri itu ingin dikenal oleh makhluqnya. Oleh karena itu, ia menciptakan manusia. Manusia adalah makhluq yang diadakan atau diciptakan oleh Tuhan agar Ia dapat dikenal. Untuk dapat dikenal dan diketahui, Ia menyesuaikan keadaan dan kemampuan manusia. Dari kemampuan manusia yang berbeda-beda dalam mendefinisikan Tuhan melahirkan perdebatan yang panjang, yang sebetulnya semuanya didasarkan atas pemahaman terhadap teks kitab suci atau Al-Qur’an.
Sebetulnya, Tuhan yang diperdebatakan atau dibahas itu adalah Tuhan yang sudah mengambil bentuk  tertentu di dalam kitab suci dan realitas empiris, seperti disebut Maha Pencipta karena Ia adalah Yang Menciptakan alam semesta beserta isinya, dan di sebut Maha Kuasa karena Ia berkuasa atas segala sesuatu, dan lain-lain. Ini adalah yang dimaksud dengan bahwa Tuhan telah menyesuaikan atau mengambil bentuk tertentu agar bisa dikenal sesuai dengan kemampuan umat manusia.
Maka dari itu, menurut hemat penulis yang tentu saja sangat terbuka untuk dikritisi dan di diskusikan bersama, bahwa harus dibedakan antara Tuhan dengan pengetahuan tentang Tuhan. Tuhan itu adalah transenden dan tidak terbatasi oleh apapun. Apabila Tuhan itu dikonsepsikan atau dirumuskan oleh akal manusia yang serba terbatas, berarti Tuhan telah terbatasi oleh akal manusia, sedangkan Tuhan adalah Ia yang tidak terbatasi oleh apapun. Jadi, apabila ada seorang yang merumuskan tentang Tuhan, maka ia sedang merumuskan sesuatu yang tidak terumuskan dan sedang membatasi sesuatu yang tidak terbatasi oleh apapun. Kebingungan Nabi Ibrahim dalam mencari pengetahuan tentang Tuhan dapat dijadikan representatif dari apa yang dsiebut dengan al-ilah al-majhul (Tuhan yang tidak dapat diketahui), Tuhan yang tak terpikirkan, dan Tuhan yang tak terumuskan.
Sedangkan pengetahuan tentang Tuhan adalah Tuhan yang sudah mengambil bentuk tertentu dan dapat dirumuskan oleh akal manusia. Dengan kata lain, Tuhan yang sudah dikonsepsikan, didefinisikan, dan dirumuskan itu adalah Ia yang sudah mengambil bentuk tertentu sehingga manusia dapat mengenal dan mengetahui-Nya.


2 Juli 2013

Puisi Bulan Juni





--Tahun 2010
Suasana kampus bagi mahasiswa baru
Tak hanya aku begitu juga yang lain dariku
Latar belakang yang berbeda sungguh seperti Jogja –Istimewa
Menuntut ilmu di kampus ibu kota – Jakarta
               
Mungkin aku salah satu dari ribuan mahasiswa yang jumpa keglobalan
            Suka mencari informasi, ilmu pengetahuan dan jaringan sebagai jalan
            Tak jarang berdialog, debat di forum diskusi yang ku jajal
            Ini bukan sifat yang takut gagal atau terganjal