Oleh: Soleman Siregar
Sebagai
asumsi dasar dari tulisan kecil-kecilan dibawah ini adalah bahwa Tuhan yang
selama ini dipahami umat Islam pada umumnya adalah Tuhan yang sudah
dikonsepsikan berdasarkan kitab suci. Sebuah ibrah (pelajaran) yang
sebetulnya dapat dipetik tentang pencarian makna Tuhan adalah bisa dilihat dari
kisah nabi Ibrahim berikut ini.
Nabi
Ibrahim dalam mencari pemahaman tentang Tuhan belum dibingungkan oleh wahyu
atau kitab suci. Dalam pencariannya itu, menurutnya matahari atau bulan adalah
Tuhannya. Tetapi, dia berfikir bagaimana mungkin Tuhan itu adalah sesuatu yang
bisa sewaktu-waktu muncul (terlihat) dan sewaktu-waktu tenggelam (tidak
terlihat)? Ia terbingungkan dengan hal ini, tetapi kebingungannya itu tidak
membuatnya putus asa dan terus mencari pengetahuan tentang Tuhan dengan
akalnya. Pada sebuah kesimpulannya, ia berpendirian bahwa Tuhan itu adalah Yang
Menciptakan kedua benda tersebut, yakni matahari dan bulan, beserta seluruh isi
di dunia ini. Saya ingin mencoba menarik arti dari kisah di atas, bahwa Tuhan
yang dipahami oleh Nabi Ibrahim secara eksoterik adalah Tuhan Yang Maha Pencipta yang
dipersepsikan atau dibentuk oleh Nabi Ibrahim sendiri. Tetapi, dilihat dari
kebingungan Nabi Ibrahim dalam mencari pengetahuan tentang Tuhan, maka secara
esoterik Tuhan yang dimaksud adalah Tuhan Yang Tidak Dapat Diketahui (al-ilah
al-majhul).
Kisah
Nabi Ibrahim di atas telah membuat umat Muslim merasa tertantang untuk dapat
mengenal-Nya. Sehingga dalam perkembangannya banyak model atau rumus yang telah
dibuat manusia mengenai konsep Ketuhanan. Pencarian model konsep atau rumus
tentang Tuhan ini secara historis berdampak negatif, yakni pernah melahirkan
perdebatan seputar konsep ketuhanan. Sebut saja misalnya dari aliran klasik
Islam, yaitu Mu’tazilah vs Ahlus sunnah.
Salah
satu yang menjadi perdebatan antara Mu’tazilah dan Ahlus Sunnah adalah tentang sifat-sifat Tuhan. Menurut
Mu’tazilah, Tuhan tidak mempunyai sifat. Tuhan dalam arti bahwa segala sesuatu
yang disebut sifat Tuhan sebenarnya bukanlah sifat yang mempunyai wujud
tersendiri diluar zat. Tetapi, sifat yang merupakan esensi Tuhan. Konsep yang
demikian ini dikemukakan oleh Wasil Ibn ‘Ata (pendiri Mu’tazilah). Konsep ini
kemudian dikembangkan oleh pemuka yang lain, yaitu Abu al-Huzail. Menurutnya,
sifat Tuhan itu melekat di dalam zat Tuhan itu sendiri. Jadi, Tuhan Maha
Mengetahui bukan dengan sifat-Nya tetapi mengetahui dengan pengetahuan-Nya, dan
pengetahuan-Nya adalah zat-Nya. Demikianlah seterusnya dengan sifat-sifat
lainnya. Tuhan Maha Kuasa dengan kekuasaan dan keuasaan-Nya adalah zat-Nya.
Tuhan Mahabijaksana, dengan kebijaksanaan dan kebijakasanaan-Nya adalah
zat-Nya. Nampaknya, Wasil dan Huzail dalam konsep ini mengindari pemahaman anthropomorphism
yang apabila dalam istilah Arab disebut al-tajassum atau al-tasybih.
Konsep
tentang Tuhan di atas ditentang oleh Ahlus Sunnah. Mustahil kata al-Asy’ari
(pendiri Ahlus Sunnah/Mantan Mu’tazilah), Tuhan mengetahui dengan zat-Nya, karena
dengan demikian zat-Nya adalah pengetahuan dan Tuhan sendiri adalah
pengetahuan. Tuhan bukan pengetahuan (‘ilm) tetapi Yang Mengetahui (‘Alim).
Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukanlah zat-Nya.
Demikan dengan sifat lainnya, seperti berkuasa, mendengar, melihat, dan
lain-lain. Artinya, persoalan seputar konsep atau rumus tentang Tuhan di antara
keduanya telah melahirkan perdebatan yang sengit.
Kedua
aliran di atas mempunyai definisi tersendiri tentang Tuhan tentu saja
berdasarkan kitab suci mereka, yaitu Al-Qur’an. Karena pemahaman atas teks
kitab suci itulah yang selama ini membuat umat Muslim ini berbeda-beda
pemikiran dan pemahaman. Hal ini disebabkan karena adanya yang disebut dengan ambiugitas
teks kitab suci. Menarik apabila melihat dampak dari ambiugitas teks kitab
suci ini. Salah satunya adalah yang akhir-akhir ini sering terjadi kekerasan
terhadap kaum non Muslim dengan mengatasnamakan agama dengan dukungan dari
dalil Al-Qur’an, yaitu:
اللَّهِ ۚوَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ ۖتَرَاهُمْ
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan
orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir. .
. .” (Q.S. 48:29).
Ayat
di atas sering dijadikan landasan atas pembenaran melakukan tindakan
diskriminatif oleh kaum Muslim terhadap kaum non Muslim. Padahal, ayat di atas
tidak relevan dengan semangat zaman pada saat ini yang menginginkan perdamaian
seluruh kalangan umat manusia dan juga bertentangan dengan dalil lainnya
seperti dalil toleransi, kasih sayang, kebebasan beragama, dan lain-lain.
Abdalla, seorang intelektual Islam asal Indonesia, mengatakan bahwa ayat di
atas turun ketika kaum Muslim dengan orang-orang kafir pada waktu itu sedang
berperang dan bermusuh-musuhan. Maka, wajar apabila bunyi teks ayat itu seperti
menghalalkan kekerasan terhadap orang yang bukan Muslim.
Bahkan,
menurut Jalaluddin Rahmat, ketua IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia),
bahwa konsep kafir bukan menyangkut masalah teologi melainkan menyangkut etika.
Artinya, apabila mengikuti konsep Kang Jalal itu (begitulah panggilan
akrabnya), yang harus dikeraskan itu adalah orang-orang yang suka melakukan
kejahatan, seperti korupsi, pembunuhan, dan lain-lain. Dan bukan keras terhadap
kepada mereka yang hanya dilihat dari perbedaan keyakinan. Tentu saja konsep
Kang Jalal itu terbuka untuk dikritisi. Dan mungkin sewaktu-waktu menarik untuk
mengadakan seminar di ponpes Sulaimaniyah ini terkait dengan apa yang dimaksud
dengan konsep kafir itu, untuk memancing nalar intelektual para santri disini
sebagai calon ulama masa depan.
Kembali
kepada soal ambiguitas teks kitab suci tadi. Seperti masalah pada ayat di atas
tentang berlaku keras terhadap orang kafir yang ambigu maknanya, sama halnya
juga dengan pembahasan tentang Tuhan di dalam teks kitab suci yang ambigu dalam
maknanya. Banyak dari orang-orang mutakallimin yang mempunyai konsep
tertentu tentang Tuhan yang di dasarkan atas penafsiran terhadap Al-Qur’an.
Bahkan sering kali di dalam Al-Qur’an sendiri dijumpai ayat-ayat yang
berlawanan satu sama lain.
Dalam
hal ini, yang ingin saya katakan adalah bahwa Tuhan yang sekarang adalah Tuhan
yang sudah terumuskan atau terdefinisikan oleh manusia yang mengatasnamakan
teks kitab suci. Suatu kritik tajam terhadap kaum mutakallimin dari
seorang sufi Andalusia bernama Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn al-‘arabi
al-Ta’i al-Hatimi menurutnya Tuhan yang sekarang adalah Tuhan yang sudah
terversikan (ada versi Mu’tazilah dan versi Ahlus Sunnah), “Tuhan kepercayaan”
(ilah al-mu’taqad), “Tuhan dalam kepercayaan” (al-ilah fi al-i’tiqad),
“Tuhan yang dipercayai” (al-ilah al-mu’taqad). “Tuhan” itu bukan Tuhan
yang sebenarnya, melainkan “Tuhan” yang
menjadi Tuhan karena ia dipercayai. Karena lahir dari kepercayaan, maka dengan
sendirirnya “Tuhan” itu bersifat konsepsional dan bukan Tuhan pada diri-Nya
atau Tuhan itu sendiri sebagaimana adanya (God as God as such).
Menurut Ibn ‘Arabi, Tuhan pada diri-Nya
adalah Tuhan yang tidak dapat diketahui (al-ilah al-majhul), yang
transenden (al-ilah al-munazzah), yang tidak terikat dengan atribut atau
identitas apapun. Dibahasakan secara lain, Ia adalah “yang tak pasti dari
segala yang tak pasti”, “yang paling tidak diketahui dari semua yang tak
diketahui” (ankar-al-nakirat). Dalam ke-Dia-an-Nya yang hakiki, kata Ibn
‘Arabi, Ia adalah “Misteri yang Absolut” (al-ghayb al-muthlaq) atau
“Misteri yang Paling Suci” (al-ghayb al-aqdas). Dengan kata lain, Ia
adalah “Negativitas” dalam bentuknya yang paling negatif.
Selanjutnya,
Tuhan dalam wujudnya yang misteri itu ingin dikenal oleh makhluqnya. Oleh
karena itu, ia menciptakan manusia. Manusia adalah makhluq yang diadakan atau
diciptakan oleh Tuhan agar Ia dapat dikenal. Untuk dapat dikenal dan diketahui,
Ia menyesuaikan keadaan dan kemampuan manusia. Dari kemampuan manusia yang
berbeda-beda dalam mendefinisikan Tuhan melahirkan perdebatan yang panjang, yang
sebetulnya semuanya didasarkan atas pemahaman terhadap teks kitab suci atau
Al-Qur’an.
Sebetulnya,
Tuhan yang diperdebatakan atau dibahas itu adalah Tuhan yang sudah mengambil
bentuk tertentu di dalam kitab suci dan
realitas empiris, seperti disebut Maha Pencipta karena Ia adalah Yang
Menciptakan alam semesta beserta isinya, dan di sebut Maha Kuasa karena Ia
berkuasa atas segala sesuatu, dan lain-lain. Ini adalah yang dimaksud dengan bahwa
Tuhan telah menyesuaikan atau mengambil bentuk tertentu agar bisa dikenal sesuai
dengan kemampuan umat manusia.
Maka
dari itu, menurut hemat penulis yang tentu saja sangat terbuka untuk dikritisi
dan di diskusikan bersama, bahwa harus dibedakan antara Tuhan dengan
pengetahuan tentang Tuhan. Tuhan itu adalah transenden dan tidak terbatasi
oleh apapun. Apabila Tuhan itu dikonsepsikan atau dirumuskan oleh akal manusia
yang serba terbatas, berarti Tuhan telah terbatasi oleh akal manusia, sedangkan
Tuhan adalah Ia yang tidak terbatasi oleh apapun. Jadi, apabila ada seorang yang
merumuskan tentang Tuhan, maka ia sedang merumuskan sesuatu yang tidak
terumuskan dan sedang membatasi sesuatu yang tidak terbatasi oleh apapun. Kebingungan
Nabi Ibrahim dalam mencari pengetahuan tentang Tuhan dapat dijadikan
representatif dari apa yang dsiebut dengan al-ilah al-majhul (Tuhan yang
tidak dapat diketahui), Tuhan yang tak terpikirkan, dan Tuhan yang tak
terumuskan.
Sedangkan
pengetahuan tentang Tuhan adalah Tuhan yang sudah mengambil bentuk tertentu dan
dapat dirumuskan oleh akal manusia. Dengan kata lain, Tuhan yang sudah
dikonsepsikan, didefinisikan, dan dirumuskan itu adalah Ia yang sudah mengambil
bentuk tertentu sehingga manusia dapat mengenal dan mengetahui-Nya.
Tuhan Yang Tak Ter(rumus)kan