31 Januari 2014

 Oleh Ricky khadafi

Satu hal yang bisa diamati dengan mudah, bahwa kurikulum pendidikan sejarah tahun 2013, adalah sebuah upaya pemerintah untuk memaksakan penanaman nilai-nilai nasionalisme. Lihat saja bobot materi ajar pelajaran sejarang yang difokuskan, untuk menghindari penyebutan disempitkan, pada informasi seputar sejarah indonesia. Pembahasannya dimulai  dari sejarah manusia pra-aksara Indonesia hingga G-30/s.[1] Entah apa yang dimaksud dengan nasionalisme kali ini. Benedict Anderson mengatakan bahwa nasionalisme hingga sekarang belum memiliki rumusan yang ajeg dalam konsepnya, ia hanya menjelaskan ciri-ciri khusus yang ada dalam nasionalisme. Yakni terbayangkan, berdaulat dan terbatas. Terbayangkan dalam arti bahwa seluruh anggota komunitas yang diikat dalam identitas nasion, tidak pernah bertemu satu persatu atau bertatap muka, maka kedekatan antar anggota, tidak bisa lain, hanya bisa ada dalam tataran ide yang dikondisikan dalam usaha pembayangan. Dikatakan berdaulat, karena nasionalisme berangkat dari semangat kemerdekaan abad  ke-20, yang memposisikan kedaulatan berada tepat dihadapan penjajahan atau kolonialisme. Dan disebut terbatas, karena wilayah geografis yang dibayangkan sebagai tempat dimana benih cita-cita nasionalisme akan subur berkembang, harus memiliki batas-batas yang jelas, untuk memisahkan mana yang “kita” dan mana yang “mereka”.[2]
Nah, pertanyaannya sekarang, apa yang hendak dimaksudkan oleh kementrian pendidikan dan kebudayaan dalam kurikulum pendidikan sejarah tahun 2013, yang jika memang benar demikian, untuk menanamkan nilai-nilai nasionalisme yang hingga sekarang pun masih sulit untuk merumuskan konsepnya? Apakah yang dimaksudkan dengan nasionalisme dalam hal ini adalah cinta tanah air? Jika iya, apakah ada korelasi positif antara cinta tanah air dan kemajuan bangsa ditinjau dari berbagai aspek?
Sedikit opini, bahwa yang saya mengerti tentang pembelajaran sejarah bukan semata-mata tentang mengejar dan merenggut nilai nasionalisme dalam tempurung otak kita. Belajar sejarah melibatkan ketekunan dan rasa sabar yang besar, untuk bisa menerima perbedaan fakta yang berseliweran dan niscaya ada dalam informasi-informasi yang mendasari sebuah narasi sejarah.
Kita tidak bisa begitu saja merampok segenap kumpulan data yang masih mungkin untuk diperdebatkan, untuk dikonfigurasikan dalam bentuk kepentingan yang disebut dengan “nasionalisme”. Bukan saya tidak percaya akan pentingnya rasa kebangsaan suatu warga negara. Namun terkadang, nasionalisme dibajak oleh segelintir penguasa untuk menopang sistem pendidikan yang ternyata gagal untuk menciptakan generasi penerus yang digadang-gadang. Selain kegagalan, generasi penerus pun menjadi korban bagi kekeliruan yang tak bisa menunggu, yang terburu-buru untuk mengejar target layaknya angkot ngebut untuk mengejar setoran.
Bukan hanya itu, dalam kurikulum 2013, nilai luhur yang ada dalam pembelajaran sejarah tidak mendapatkan bobot yang berarti dalam kapasitas dan kedalaman maknanya. Kesadarahan sejarah, bukanlah melulu tentang nasionalisme. Kesadaran sejarah adalah sebuah paradigma yang memandang sesuatu secara historis, tidak terburu-buru, tahu bahwa segenap peristiwa yang pernah ada dalam lembar jejak langkahnya, tidak muncul dalam ruang hampa.[3] Sulitkah ini untuk dimengerti oleh para perancang kurikulum 2013?


[1] Dalam kurikulum, peristiwa G-30-S ditulis dengan “G30S/PKI”. Saya menolak untuk menggunakan istilah yang disebutkan terakhir. Karena penyematan atribut “PKI” pada bagian terakhir istilah itu, mengindikasikan bahwa PKI lah yang sepenuhnya bersalah atas peristiwa tersebut. Lihat John Roosa, dalih pembunuhan massal.
[2] Lihat Benedict Anderson, Imagined Communities. Dalam bukunya, beliau mengupayakan alternatif untuk memahami apa itu nasionalisme melalu langkah-langkah yang sistematis-historis.
[3] Lihat F.R Ankersmith, Refleksi tentang Sejarah. Hal. 206 mengenai historisme dan hal. 349 tentang kesadaran sejarah.