Oleh
Ricky khadafi
Satu hal yang bisa diamati
dengan mudah, bahwa kurikulum pendidikan sejarah tahun 2013, adalah sebuah
upaya pemerintah untuk memaksakan penanaman nilai-nilai nasionalisme. Lihat
saja bobot materi ajar pelajaran sejarang yang difokuskan, untuk menghindari
penyebutan disempitkan, pada informasi seputar sejarah indonesia. Pembahasannya
dimulai dari sejarah manusia pra-aksara Indonesia
hingga G-30/s.[1]
Entah apa yang dimaksud dengan nasionalisme kali ini. Benedict Anderson
mengatakan bahwa nasionalisme hingga sekarang belum memiliki rumusan yang ajeg
dalam konsepnya, ia hanya menjelaskan ciri-ciri khusus yang ada dalam
nasionalisme. Yakni terbayangkan, berdaulat dan terbatas. Terbayangkan dalam
arti bahwa seluruh anggota komunitas yang diikat dalam identitas nasion, tidak
pernah bertemu satu persatu atau bertatap muka, maka kedekatan antar anggota,
tidak bisa lain, hanya bisa ada dalam tataran ide yang dikondisikan dalam usaha
pembayangan. Dikatakan berdaulat, karena nasionalisme berangkat dari semangat
kemerdekaan abad ke-20, yang
memposisikan kedaulatan berada tepat dihadapan penjajahan atau kolonialisme.
Dan disebut terbatas, karena wilayah geografis yang dibayangkan sebagai tempat
dimana benih cita-cita nasionalisme akan subur berkembang, harus memiliki
batas-batas yang jelas, untuk memisahkan mana yang “kita” dan mana yang “mereka”.[2]
Nah, pertanyaannya sekarang,
apa yang hendak dimaksudkan oleh kementrian pendidikan dan kebudayaan dalam
kurikulum pendidikan sejarah tahun 2013, yang jika memang benar demikian, untuk
menanamkan nilai-nilai nasionalisme yang hingga sekarang pun masih sulit untuk
merumuskan konsepnya? Apakah yang dimaksudkan dengan nasionalisme dalam hal ini
adalah cinta tanah air? Jika iya, apakah ada korelasi positif antara cinta
tanah air dan kemajuan bangsa ditinjau dari berbagai aspek?
Sedikit opini, bahwa yang saya
mengerti tentang pembelajaran sejarah bukan semata-mata tentang mengejar dan
merenggut nilai nasionalisme dalam tempurung otak kita. Belajar sejarah
melibatkan ketekunan dan rasa sabar yang besar, untuk bisa menerima perbedaan
fakta yang berseliweran dan niscaya ada dalam informasi-informasi yang
mendasari sebuah narasi sejarah.
Kita tidak bisa begitu saja
merampok segenap kumpulan data yang masih mungkin untuk diperdebatkan, untuk
dikonfigurasikan dalam bentuk kepentingan yang disebut dengan “nasionalisme”.
Bukan saya tidak percaya akan pentingnya rasa kebangsaan suatu warga negara.
Namun terkadang, nasionalisme dibajak oleh segelintir penguasa untuk menopang
sistem pendidikan yang ternyata gagal untuk menciptakan generasi penerus yang
digadang-gadang. Selain kegagalan, generasi penerus pun menjadi korban bagi
kekeliruan yang tak bisa menunggu, yang terburu-buru untuk mengejar target
layaknya angkot ngebut untuk mengejar setoran.
Bukan hanya itu, dalam
kurikulum 2013, nilai luhur yang ada dalam pembelajaran sejarah tidak
mendapatkan bobot yang berarti dalam kapasitas dan kedalaman maknanya.
Kesadarahan sejarah, bukanlah melulu tentang nasionalisme. Kesadaran sejarah
adalah sebuah paradigma yang memandang sesuatu secara historis, tidak
terburu-buru, tahu bahwa segenap peristiwa yang pernah ada dalam lembar jejak
langkahnya, tidak muncul dalam ruang hampa.[3] Sulitkah ini untuk
dimengerti oleh para perancang kurikulum 2013?
[1] Dalam kurikulum, peristiwa
G-30-S ditulis dengan “G30S/PKI”. Saya menolak untuk menggunakan istilah yang
disebutkan terakhir. Karena penyematan atribut “PKI” pada bagian terakhir
istilah itu, mengindikasikan bahwa PKI lah yang sepenuhnya bersalah atas
peristiwa tersebut. Lihat John Roosa, dalih
pembunuhan massal.
[2] Lihat Benedict Anderson, Imagined Communities. Dalam bukunya,
beliau mengupayakan alternatif untuk memahami apa itu nasionalisme melalu
langkah-langkah yang sistematis-historis.
[3] Lihat F.R Ankersmith, Refleksi tentang Sejarah. Hal. 206
mengenai historisme dan hal. 349 tentang kesadaran sejarah.
Sekilas tentang Pendidikan Sejarah dalam Kurikulum 2013